Wadah Opini

Jangan biarkan otak kita hanya menjadi otak-otak

Minggu, 07 September 2008

NEGERI TRAGEDI

Diposting oleh imam suharjo

Entah apa yang terjadi di negeri ini, bencana seakan datang silih berganti. Awal tahun 2007 dibuka dengan bencana transportasi yang banyak membawa korban jiwa dan harta benda bahkan masih banyak penumpang yang sampai saat ini masih hilang. Belum habis bela sungkawa dan duka, drama bencana bersambung dengan episode banjir di ibu kota yang merugikan trilyunan rupiah, tanah longsor di Padang Pariaman, terbakarnya kapal Levina yang memakan korban dua kali, tanah longsor di Manggarai NTT, gempa bumi di Sumatera Barat, ombak pasang di Halmahera Timur Maluku Utara, banjir bandang di NTB dan terakhir kecelakaan pesawat garuda di bandara Adisutjipto Yogyakarta. Sementara saudara kita di Sidoarjo Jawa Timur belum bisa bernapas lega karena sudah sepuluh bulan lumpur Lapindo belum juga berhenti.


Bila kita melihat ke belakang, diawali dengan krisis ekonomi tahun 1998, secercah harapan menyongsong masa depan lebih cerah dengan hadirnya era reformasi setelah tumbangnya orde baru. Tetapi yang ditemui adalah tragedi demi tragedi kemanusian yang menelan banyak korban nyawa dan harta. Eforia yang disikapi secara berlebihan mencabik persatuan dan nilai-nilai toleransi masyarakat Indonesia melahirkan kerusuhan SARA seperti di Maluku, Kalimantan dan Poso. Secara simultan terjadi gempa tsunami Aceh, Nias, kemudian gempa di Yogyakarta. Di bidang transportasi publik pun tak ketinggalan dengan jatuhnya pesawat Mandala, Lion dan beberapa kali kecelakaan kereta api. Di pentas politik pertarungan para elitnya menyulut pertarungan antar masa pendukung yang juga membawa korban jiwa dan harta.


Introspeksi

Meskipun tidaklah terlalu relevan mengkaitkan banyaknya bencana yang terjadi dengan perilaku hidup masyarakat, tetapi tidak ada salahnya bangsa Indonesia khususnya umat islam sebagai pemeluk agama terbesar di Indonesia untuk introspeksi diri. Mulai dari pemimpin formal, pemimpin non formal maupun masyarakat biasa mencoba merenungkan kembali perilaku hidup selama ini yang mungkin tidak sesuai dengan tuntunan agama.


Perenungan diawali dari pernyataan kita terhadap eksistensi Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang patut disembah dan Muhammad sebagai utusan-Nya. Konsep Ketuhanan islam yang begitu mudah dipahami dan bahkan paling banyak menjadi pertimbangan bagi para muallaf yang berasal dari beberapa ilmuwan barat ternyata masih sering diselewengkan oleh kita yang umumnya menjadi islam karena keturunan. Sudahkah kita benar-benar hanya menyembah dan memohon pertolongan kepada Allah ataukah dengan sengaja ataupun tidak sengaja masih sering meminta pertolongan, keselamatan, berkah yang ditujukan kepada selain Allah. Demikian juga apakah perilaku Nabi hanya kita laksanakan pada tataran wacana, seremonial, ritual tetapi hanya sedikit membawa dampak pada perbaikan akhlak, sehingga pornografi, pergaulan bebas, obat terlarang dan dekadensi moral lainnya menjadi problem yang masih tak terselesaikan di negeri yang mayoritas muslim. Padahal Nabi diutus dalam kapasitas untuk memperbaiki akhlak manusia.


Implementasi dari bentuk pernyataan kita terhadap ke-esa-an Allah adalah sholat yang diawali dari takbiratul ikram dan diakhiri dengan salam. Realisasi dari dua rukun sholat ini benarkah sudah dilaksanakan sebagaimana mestinya. Seringkali kita menganggap bahwa selain Allah masih ada yang besar seperti kekuasaan, jabatan, kekayaan yang akhirnya menjadi tujuan utama hidup. Sudahkah salam yang diucapkan ke kanan dan kiri saat mengakhiri sholat kita aplikasikan pada kehidupan sehari-hari. Mulut mengucapkan salam (keselamatan) tetapi tindakan kita malah sebaliknya dengan membuat kerusakan, ketidakadilan dan ancaman baik pada alam ataupun manusia lain. Kita lupa peringatan Allah yang tertuang dalam firman-Nya di Al-Quran surah Asy-Syu’araa ayat 183 yang berbunyi “ Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan”


Benarkah puasa sebagai bentuk kepatuhan atas perintah Allah sudah menjadikan kita termasuk orang yang bertaqwa ataukah puasa kita tak lebih dari memindahkan jam makan minum tanpa memberi implikasi pada perubahan perilaku. Di dalam puasa kita dilatih untuk merasakan sengsaranya kaum dhuafa sehingga diharapkan memicu rasa kesetiakawanan sosial.. Puasapun melatih kita untuk tidak mengambil sesuatu yang bukan hak, tetapi kenyataan korupsi di Indonesia semakin merajalela bahkan ada korupsi dalam pelaksanaan pemberantasan korupsi.


Zakat sebagai wujud terima kasih kita atas rizki yang diberikan oleh Allah sudahkah kita keluarkan sesuai perintah agama atau sekedar zakat fitrah yang nilainya hanya ribuan rupiah dan itupun dikeluarkan karena rasa takut akan tidak diterimanya pahala puasa kita yang sebetulnya sudah amburadul. Sepertinya kita masih beribadah dengan orientasi hanya pada pahala.


Bentuk ketaatan yang terakhir adalah melaksanakan ibadah haji. Sudahkan kita memahami pelajaran dan hikmah selama melaksanakan ibadah haji ataukah sekedar pulang membawa predikat haji beserta atributnya untuk kemudian dijadikan bahan pameran tanpa mampu menunjukan kesalehan sebagai orang yang telah terpilih untuk memenuhi panggilan Illahi. Di dalam pelaksanaan ibadah haji kita dilatih untuk mengembangkan sikap toleran terhadap saudara lain yang berbeda paham dengan kita. Sudahkah sikap tersebut kita pelihara terus dalam kehdupan masyarakat yang lebih heterogen sehingga tidak perlu lagi terjadi konflik-konflik sektarian maupun SARA.


Islam bukanlah agama ritual ataupun seremonial. Setiap kegiatan ibadah yang diperintahkan dalam islam selalu mempunyai tujuan dua dimensi yaitu vertikal dan horisontal. Vertikal dalam arti hubungan dengan Allah sebagai Sang Pencipta dan horisontal sebagai implementasi ibadah yang menyangkut hubungan kita dengan sesama mahkluk dan alam sekitar. Ucapan maupun gerakan ibadah yang tidak memiliki nilai kedua dimensi tersebut tak lebih hanya menegakan simbol-simbol belaka.


Inkonsistensi ritual ibadah dengan perilaku hidup dapat dilihat dengan masih banyaknya korupsi, kerusakan lingkungan akibat peti maupun illegal logging, pergaulan bebas, narkoba, kerusuhan, kemiskinan, kebohongan dan bentuk kerusakan lainnya yang terasa semakin semarak di negara yang perpenduduk islam terbesar di dunia. Akibat inkonsistensi dalam beragama janganlah membuat kita termasuk orang-orang fasik atau munafik. Allah telah menyatakan hukuman bagi orang munafik itu sama dengan orang kafir seperti ter firman dalam Al_ Quran surat An-Nisaa’ ayat 140 yang berbunyi :” …. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahanam”.


Perilaku islam

Secara ilmiah wilayah Indonesia memang termasuk dalam lingkaran api (ring of fire) yang terdapat banyak daerah patahan bumi sehingga sering mengakibatkan gempa. Secara logika juga dinyatakan bahwa umur armada sangat menentukan tingkat keselamatan transportasi. Yang terjadi di Indonesia ternyata menghapus anggapan itu. Kecelakaan garuda membuktikan bahwa pesawat baru tak lebih aman dari armada lama. Bencana alam tidak selalu berwujud gempa. Mungkin semua bencana di negeri ini merupakan peringatan Allah sebagai wujud kasih sayang-Nya agar kita kembali ke jalan yang benar seperti tersurat dalam Ar-Ruum ayat 41 “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).


Indonesia memerlukan orang-orang berperilaku islami bukan simbol islam yang ditegakan melalui aturan syariah yang tak konsisten di jalankan kecuali hanya untuk kepentingan tertentu. Penegakan simbol islam yang demikian tidak mencerahkan sinar islam sebagai agama rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam) tetapi malah sebaliknya memperburuk citra islam. Bahkan pengkultusan simbol tersebut dapat memicu sikap diskriminasi dan perpecahan sesama umat.

Mulai saat ini marilah kita bulatkan tekat, mantapkan niat untuk berjihad melawan hawa nafsu menuju kehidupan yang benar sehingga Ibu pertiwi tidak lagi bersusah hati.


Dimuat di Rubrik Opini Banjarmasin Post hari Selasa tanggal 13 Maret 2007

0 komentar:

Posting Komentar