Wadah Opini

Jangan biarkan otak kita hanya menjadi otak-otak

Sabtu, 17 Januari 2009

PERASLAH DAKU KAU KUTANGKAP

Diposting oleh imam suharjo


Berita menghebohkan datang dari Jawa Timur, bukan tentang lumpur Lapindo Brantas tetapi seorang oknum kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional) Kota Surabaya tertangkap basah oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) saat melakukan pemerasan terhadap warga pemohon sertifikat tanah. Ditilik dari modus operandinya, bentuk penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh oknum tersebut sudah menjadi rahasia umum, yaitu meminta imbalan tertentu terhadap layanan yang diberikan aparat. Namun dilihat dari besaran uang yang diminta mencapai lebih dari setengah milyar tentu membuat mulut kebanyakan masyarakat yang masih hidup dibawah kemiskinan ternganga. Inilah wajah buruk birokrasi bangsa ini yang belum sepenuhnya dapat dihilangkan.


Aksi peras memeras biasanya dilakukan oleh preman yang memang tak mengenal etika dan moral. Kerasnya hidup di jalanan dan tuntutan hidup untuk sekedar mengisi kekosongan perut membuat para preman kehilangan nuraninya. Sebagai preman, resiko yang dihadap tidaklah kecil, bila tertangkap basah bisa babak belur dihakimi massa. Bahkan di-era delapan puluhan, mereka harus siap mati tertembus peluru yang ditembakan oleh petrus (penembak misterius) sebagai bagian shock terapy yang dilakukan pemerintah saat itu untuk menghapus preman. Hasilnya, preman jalanan memang berkurang tetapi perilaku preman tetaplah hidup bahkan tumbuh subur di era reformasi ini.



Melakukan aksi premansme tidaklah perlu berwajah garang, bersenjata tajam, badan penuh tattoo dengan jean lusuh. Menjadi tukang peras dapat dilakukan dengan hanya duduk dibelakang meja di ruang ber AC, pakaian berdasi, safari atau seragam dinas. Senjata yang digunakan hanya seberkas kertas yang berisi legalisasi kewenangan profesi/jabatan. Aksi yang dilakukan tak perlu di jalanan tetapi cukup transaksi bawah meja, tempat hiburan atau di hotel berbintang. Resiko yang dihadapi juga tidaklah terlalu berat, karena semuanya masih memungkinkan diselesaikan dengan uang hasil pemerasan. Itulah sebabnya aksi ini begitu digemari, tujuannya tidak lagi sekedar untuk mengisi perut tetapi untuk memperbanyak pundi-pundi yang semakin menutup hati nurani.


Gratifikasi

Gratifikasi yang dulu lebih dikenal dengan pemberian upeti telah menjadi tradisi di negara yang masih kental nuansa feodal. Upeti merupakan bentuk kepatuhan rakyat jelata atau negeri taklukan kepada raja/penguasa. Sistem birokrasi yang dibangun bangsa ini ternyata tak mampu melepas tradisi tersebut. Tanpa disadari kebiasaan menerima upeti di kalangan birokrat dan penyelenggara negara seolah menjadi sebuah sistem. Pemberian yang sebelumnya dilandasi sifat sukarela dari si penerima jasa, kemudian berubah menjadi keharusan dan pada akhirnya menjadi pemaksaan dengan ancaman “bila tidak diberi, maka ….”

Dengan ditetapkannya UU. No. 31 tahun 1999 jo. UU no. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah memberikan batasan baru pada pengertian korupsi. Segala bentuk pemberian kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya atau selanjutnya disebut dengan gratifikasi. Gratifikasi harus dilaporkan kepada KPK paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya gratifikasi. Sanksi atas pelanggaran gratifikasi adalah ancaman pidana korupsi.

Dalam undang-undang tersebut yang dimaksud dengan pegawai negeri meliputi pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam undang undang kepegawaian; pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalamKitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP); orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang menerima bantuan keuangan negara atau daerah; atau orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat


Memberantas Korupsi

Mengurai benang kusut untuk memberantas gratifikasi sebagai salah satu cikal bakal korupsi ini tak semudah membalikan tangan. Beberapa kali telah dibentuk institusi untuk memberantas dan mencegah kebiasaan tersebut. Dimulai tahun 1957 melalui Panglima Penguasa Militer, karena tidak efektif kemudian digantikan oleh Tim Pemberantasan Korupsi pada tahun 1967. Tahun 1970 dibentuk Komisi Empat melalui Keppres 12/1970 tetapi juga tak berjalan sesuai harapan. Selanjutnya pada tahun 1977 dikeluarkan Keppres Nomor 9/1977 yang menjadi dasar hukum dibentuknya Operasi Penertiban (Opstib) yang dikomandoi oleh Laksamana Sudomo dengan tujuan memberantas pungli (pungutan liar), operasi penertiban lambat laun sama nasibnya dengan lembaga sebelumnya hingga pada tahun 1999 setelah reformasi dibentuklah Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Korupsi (TGPTK) tetapi layu sebelum berkembang. Setelah itu dibentuk lagi Komisi Pemeriksa Keuangan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang kemudian diganti oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan terakhir ada Tim Tas Tipikor Kejaksaan Agung yang telah habis masa tugasnya.

Di era sebelum reformasi, keberadaan institusi pemberantas tipikor terlihat garang diawal, setelah itu lambat laun ikut larut kedalam kerusakan sistem birokrasi yang telah terstruktur rapi dari lini bawah sampai keatas. Kesan yang timbul kemudian adalah semakin banyak institusi pengawas malah membuat kebocoran keuangan negara semakin besar. Terjadi mutasi fungsi sebagai pemberantas korupsi menjadi pemeras dari tukang peras.

Keinginan untuk memberantas penyakit birokrasi di era reformasi belum sepenuhnya terpenuhi. Meskipun saat ini banyak sekali lembaga pengawas internal/eksternal pemerintah maupun non pemerintah seperti LSM, media massa, masyarakat tetapi fungsinya masih lebih banyak disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Dengan mengatasnamakan pemeriksa, penegak hukum, penulis berita media massa, wakil/tokoh masyarakat para oknum tersebut menjadi pemeras dari tukang peras. Harapan satu-satunya saat ini memang lebih banyak tertumpu pada KPK. Meskipun ada nada miring terhadap sepak terjang KPK yang dinilai tebang pilih, tetapi langkah KPK harus didukung oleh seluruh lapisan masyarakat. Penangkapan melalui jebakan seperti yang pernah dilakukan pada anggota KPU atau oknum pejabat BPN mungkin bisa dijadikan tren pemberantasan korupsi dan shock teraphy bagi para pelakunya. Dengan demikian siapapun tak perlu takut lagi dengan tindak pemerasan. Bila pemerasan terjadi pada kita cukup katakan “Peraslah daku, kau kutangkap”. Laporkan!!!


Dimuat di rubrik opini RADAR BANJARMASIN hari Senin tanggal 27 Agustus 2007



0 komentar:

Posting Komentar