Wadah Opini

Jangan biarkan otak kita hanya menjadi otak-otak

Selasa, 03 Maret 2009

GAJI KOPRAL MAKANAN JENDERAL

Diposting oleh imam suharjo

Menelaah tulisan Nuur Widiastono, SE Ak pada rubrik opini tanggal 24 Januari 2008 yang berjudul Menyoal Pilkada dan Penghasilan Kepala Daerah membuat hati menjadi trenyuh. Bagaimana tidak, begitu besar pengorbanan bapak-bapak kepala daerah yang telah susah payah mengeluarkan biaya besar dalam proses pilkada namun gaji yang diperoleh saat menjabat jauh dari sepadan. Sebagai seorang auditor BPK tentu data gaji kepala daerah yang disajikan oleh Widiastono tidak perlu diragukan lagi.


Indonesia ternyata masih banyak memiliki orang-orang yang siap berkorban untuk memimpin sebuah wilayah. Tak terkecuali mereka yang secara finansial sudah memiliki gaji besar seperti anggota DPR RI, pejabat tinggi sipil/TNI/POLRI, pengusaha bahkan para artis yang siap turun gunung dan menjual ketenaran untuk menjadi puncak pimpinan daerah meskipun gajinya relatif kecil. Sebuah pengabdian yang luar biasa atau hanya salah satu bentuk diversikasi usaha untuk mengeruk keuntungan.


Menjadi pemimpin atau penguasa ibarat menunggang seekor harimau, bila tidak mampu mengendalikan kekuasaannya maka akan terlibas oleh kekuasaan itu sendiri. Kekuasan yang tak terkendali membawa orang menjadi korup. Kekuasaan kepala daerah saat ini memang lebih mirip raja. Ditangannya nasib sebuah wilayah, aparat dan masyarakat ditentukan. Ketika keadilan dan kepentingan umum ditegakkan oleh raja maka sejahterahlah masyarakatnya. Namun bila arogansi dan kepentingan pribadi lebih mendominasi tingkah sang raja, maka terimalah itu sebagai resiko sebuah demokrasi di jaman reformasi.


Pilkada

Pilkada adalah sebuah solusi demokrasi yang memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memilih calon pemimpin yang nantinya dapat mensejahterakan kehidupan mereka. Tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan dari anggaran pemerintah untuk melaksanakan satu kali hajatan pilkada, belum lagi bila terjadi pilkada ulang. Anggaran ini menjadi semakin fantastis bila dikalikan dengan jumlah propinsi, kabupaten dan kota di Indonesia. Sebuah nilai yang cukup untuk menopang biaya pendidikan dan kesehatan masyarakat miskin. Investasi yang sangat besar ini sepatutnya juga harus menghasilkan sesuatu yang lebih besar jika tidak mau dikatakan rugi. Sesuatu itu adalah kehidupan masyarakat yang lebih makmur sejahtera tercukupi kebutuhan minimal akan pangan, papan, sandang dan pendidikan serta rasa aman.


Disisi lain, tidak sedikit biaya yang harus disiapkan oleh para kandidat kepala daerah untuk maju keajang pilkada. Sebelum maju menjadi calon, kandidat harus terlebih dahulu mencari kendaraan politik. Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah masih mengharuskan dukungan partai politik sebagai salah satu syarat bagi seseorang untuk dapat mengikuti proses pilkada. Partai politik yang masih dipenuhi oleh pekerja politik tentu tak mau memberikan dukungan gratis, tentu ada imbalan dan deal-deal dibelakangnya.


Biaya lain yang harus dikeluarkan oleh kandidat kepala daerah adalah biaya kampanye resmi. Namun biaya kampanye resmi sebenarnya relatif kecil dibanding dengan kampanye terselebung. Kampanye terselubung biasa dimulai jauh hari sampai beberapa jam sebelum pemungutan suara, kampanye inilah yang paling banyak menyedot kocek kandidat. Beribu sembako, amplop dan barang-barang kepentingan sesaat masyarakat disebarkan untuk menarik simpati dalam kampanye illegal ini. Dalam konteks keterbatasan dana kandidat pada saat menjadi peserta pilkada, maka tidak menutup kemungkinan penyediaannya melibatkan sponsor dari banyak kalangan yang tentunya dilandasi oleh syarat tertentu apabila terpilih nanti.


Ada satu lagi biaya dalam pelaksanaan pilkada yaitu biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat. Biaya ini terkadang menjadi begitu besar ketika terjadi konflik pada saat menjelang, pelaksanaan dan penetapan hasil pilkada. Bukan saja kerugian materi, tetapi juga korban jiwa dan terpisahnya suatu komunitas sosial akibat akibat perbedaan calon yang didukung. Pilkada telah merubah watak mayoritas masyarakat yang dulu begitu ramah menjadi beringas.


Makanan jenderal

Pelaksanaan pilkada berlangsung seiring dengan terbukanya arus informasi dan kemajuan teknologi komunikasi. Kebebasan informasi khususnya dari media televisi telah memberikan dampak pada perubahan perilaku manusia Indonesia. Setiap hari keluarga kita disuguhi tontonan yang banyak memanipulasi otak dan pikiran seolah menjadi sebuah pelajaran yang patut ditiru. Bukan saja tayangan hujat menghujat dan pertunjukan demo-crazy yang penuh kekerasan, tetapi juga gaya hidup metropolitan sering ditampilkan dalam alur sinema. Kehidupan serba glamour ala sinetron beserta artis pendukungnya tentu akan membuat ngiler siapapun yang menyaksikan.


Keterbukaan informasi dan kreasi tak dibarengi dengan tanggungjawab sosial dan moral membawa budaya konsumtif sampai ke ruang keluarga. Sekalipun diri kita mampu menahan godaan, namun tidak demikian dengan sanak keluarga. Desakan lingkungan lambat laun dapat mengkikis idealisme sesorang. Apalagi di dalam diri tidak mempunyai benteng pertahanan yang kuat. Tentu hal ini akan mendorong orang untu memanfaatkan semua peluang dan kesempatan yang dimiliki. Peluang itu akan semakin besar bila kekuasaan dan kewenangan berada ditangan.


Pilkada adalah ajang untuk menuju kepuncak kekuasaan, meskipun telah diatur tentang besaran gaji bagi pemegang kekuasaan tetapi begitu banyak orang rela meninggalkan profesinya demi memperebutkan jabatan tersebut. Sebuah jabatan yang gajinya hanya setara kopral di negara tetangga, namun melekat pada jabatan itu sebuah kewenangan yang dilindungi oleh undang-undang. Kewenangan yang dapat membuat orang berpenghasilan jenderal. Inikah yang mungkin dicari para kandidat ? Biar gaji kopral, tetapi makanan jenderal.


Tak perlu pilkada

Bila kita bertanya kepada seorang ekonom tentang sudah eligible-kah pelaksanaan pilkada kita ? secara obyektif dengan membandingkan biaya dan manfaat yang dicapai tentu mereka akan mengatakan tidak eligible, karena biaya pilkada yang sangat besar tidak memberikan kemajuan yang signifikan bagi kemakmuran rakyat kecuali beberapa gelintir orang/kelompok. Tetapi jawab akan berbeda bila pertanyaan yang sama diajukan pada para politikus. Mereka akan habis-habisan mengatakan bahwa pilkada sangat bermanfaat karena memang dari situlah asap dapur bisa mengepul.


Kekecewaan terhadap pelaksanaan pilkada disampaikan oleh ketua PBNU, beliau menyatakan bahwa pilkada tidak perlu dilaksanakan karena pertimbangan biaya dan eksesnya, selanjutnya pemilihan kepala daerah cukup dilakukan oleh wakil rakyat di daerah masing-masing. Inilah bentuk kekecewaan yang mendalam dari kiai terhadap pelaksanaan pilkada, sehingga beliau tidak sempat berpikir bahwa menyerahkan proses pemilihan kepala daerah kepada wakil rakyat sama dengan memberikan daging empuk kepada singa kelaparan. Lembaga legislatif kita masih dipenuhi oleh orang yang mencari makan dengan berprofesi sebagai pedagang sapi.


Langkah BPK

Menjadi menarik opini Widiastono karena yang bersangkutan adalah seorang auditor BPK yang biasa melakukan pemeriksaan pada instansi pemerintah. Secara tidak langsung beliau telah menyampaikan beberapa kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang, tetapi kasus-kasus hukum yang melibatkan pemimpin daerah seperti yang disampaikannya lebih dikarenakan nasib apes kepala daerah yang bersangkutan. Widiastono sebagai auditor BPK tentu sangat mengetahui bahwa penyimpangan yang sama sesungguhnya juga banyak terjadi di daerah lain tetapi aman-aman saja. Mengindikasi terjadinya penyalahgunaan kewenangan memang sangat mudah, kita tinggal melihat antara gaji yang diterima dengan gaya hidup seorang pejabat. Lalu bagaimanakan langkah BPK selanjutnya ?


Dimuat di rubrik opini RADAR BANJARMASIN hari Jumat tanggal 1 Pebruari 2008




0 komentar:

Posting Komentar