Wadah Opini

Jangan biarkan otak kita hanya menjadi otak-otak

Rabu, 04 Maret 2009

SIAPKAN SEJUTA PENJARA

Diposting oleh imam suharjo

Sekali lagi KPK menangkap basah salah seorang anggota DPR RI atas dugaan suap, modusnya adalah sebagai uang jasa untuk memuluskan persetujuan anggaran pembangunan prasarana perhubungan di wilayah Indonesia bagian Timur. Beberapa waktu lalu pun KPK melakukan hal yang sama terhadap pejabat dari sebuah departemen dan pemerintah daerah. Meskipun nilai transaksi yang dibongkar bukanlah kelas KPK, namun tindakan tersebut diharapkan menjadi efek traumatis bagi para pelaku.

Kegiatan birokrasi yang berkaitan dengan penetapan alokasi anggaran atau layanan penerimaan uang negara memang sangat rawan dengan korupsi. Sebagai contoh, sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap ada kegiatan rapat koordinasi antara pemerintah dan pemerintah daerah tentang alokasi anggaran, maka biasanya terjadi transaksi bawah tangan untuk memuluskan usulan dan besaran anggaran. Karena sudah menjadi kebiasaan, sehingga tak mengherankan bila beberapa pejabat mencoba menjustifikasi pemberian tersebut sebagai bentuk ucapan terima kasih bukan korupsi.

Begitu naifnya sikap mereka yang begitu saja mengabaikan keberadaan UU. No. 31 tahun 1999 jo. UU no. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mungkin tulisan ini akan sedikit mengingatkan kembali tentang pengertian korupsi.

Definisi Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa latin yaitu: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Dalam pengertian umum, korupsi selalu berkaitan dengan kepentingan publik. Menurut Arrigo dan Claussen (2003), korupsi merupakan suatu tindakan mengambil atau menerima suatu keuntungan buat diri sendiri yang tidak sah secara hukum dikarenakan individu tersebut mempunyai otoritas dan kekuasaan. Definisi tersebut secara jelas menyertakan unsur otoritas dan kekuasaan yang tentunya melekat pada penyelenggara negara. Sehingga apabila ada orang biasa mengambil atau mencuri uang negara, maka dia tidak dapat dikatakan korupsi, tetapi lebih tepat dikatakan maling atau perampok.

Dalam definisi tersebut juga disebutkan bahwa menerima sesuatu bagi penyelenggara negara juga termasuk bagian korupsi. Hal ini dikarenakan dampak yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut akan mengakibatkan penyelenggara negara mengabaikan kepentingan publik dan lebih mengutamakan pada kepentingan si pemberi. Disini publik akan sangat dirugikan karena kebijakan penyelenggara negara menjadi tidak adil. Sementara itu Transparency International mendefinisikan korupsi sebagai perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

UU. No. 31 tahun 1999 jo. UU no. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan batasan baru pada pengertian korupsi. Korupsi bukan saja mengambil uang negara tetapi secara jelas undang-undang tersebut menyatakan bahwa segala bentuk pemberian kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya adalah gratifikasi yang harus dilaporkan kepada KPK paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya gratifikasi. Sanksi atas pelanggaran gratifikasi adalah ancaman pidana korupsi.

Motivasi Korupsi
Anthony Eden (PM. Inggris 1955-1957) menyatakan “Corruption never has been compulsory”. Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa korupsi terjadi bukan karena adanya unsur keterpaksaan, tetapi lebih banyak dilandasi oleh motivasi tertentu.. Motivasi sebagai kekuatan pendorong perilaku seseorang menurut konsep Woodworth mempunyai tiga karakteristik, yang pertama intensitas; yaitu menyangkut lemah dan kuatnya dorongan sehingga menyebabkan individu berperilaku tertentu. Kedua pemberi arah; mengarahkan individu dalam menghindari atau melakukan suatu perilaku tertentu. Dan yang ketiga persistensi atau kecenderungan untuk mengulang perilaku secara terus menerus.

Beberapa penelitian empiris menunjukan bahwa pada umumnya faktor penyebab korupsi bermuara dari tiga aspek. Pertama, kerusakan pada pada sistem di bidang hukum, politik, pengawasan, kontrol dan transparansi. Kerusakan ini disebut juga kerusakan makro (negara). Pemimpin dan pejabat negara tidak mampu memberikan hukuman terhadap para pelaku korupsi. Bahkan dibeberapa kasus, banyak pelaku korupsi malah mendapat apresiasi atau bahkan medapat promosi pangkat atau jabatan. Kedua, pengaruh budaya korup di lingkungan kerja dan ketiga faktor mental dan moral individu.

Dalam kasus korupsi di Indonesia, perilaku korup dimulai dengan kuatnya intentitas motivasi dari dalam diri sendiri untuk memenuhi kebutuhan (need). Rendahnya gaji penyelenggara negara mendorong seorang aparat memanfaatkan otoritas dan kewenangannya sekedar untuk mempertahankan asap dapur mengepul. Perilaku ini diyakini terjadi di seluruh jajaran aparat penyelenggara negara, baik itu di pemerintahan, badan pengawas, penegak hukum dan peradilan. Ketika perbaikan gaji tak kunjung dilakukan, maka terjadi pengulangan perilaku korupsi secara terus-menerus dalam kurun waktu panjang dan akhirnya men-darah daging. Inilah awal dari kerusakan sebuah sistem dan mental penyelenggara negara.

Meski pada akhirnya pemerintah berusaha memperbaiki gaji penyelenggara negara yang dianggap sebagai biang kerok korupsi, ternyata tidak serta merta perilaku korup otomatis menghilang. Begitu mendarah daging-nya budaya korupsi, sehinga banyak penyelenggara negara yang tidak dapat membedakan lagi mana gratifikasi mana ucapan terimakasih. Motivasi korupsi tidak lagi sekedar memenuhi kebutuhan, tetapi pada pemenuhan keinginan (want).

Mengobati Korupsi
Tindakan korupsi yang berulang-ulang akan memberikan pelajaran bagi si pelaku untuk pintar menghindar dari jeratan hukum. Korupsi menjadi semakin canggih dan sulit terdeteksi. Korupsi sekarang bukan hanya dibawah atau diatas meja, tetapi bila perlu meja pun ikut dibawa.

Rusaknya sistem, lingkungan kerja dan mental individu menjadikan korupsi di Indonesia mirip penyakit kanker yang telah bermetastasis, diperlukan terapi khusus untuk mengobatinya. Pengobatan harus dilakukan secara luar dan dalam. Fungsi KPK adalah memberikan efek kejut agar para penyelenggara negara tersadar dari keterlenaan kepentingan sendiri. Setelah sadar, maka perlu proses perawatan melalui pengobatan ketiga aspek penyebab korupsi secara komprehensif dan terintegrasi.

Pengobatan pertama adalah perbaikan sistem dengan cara mengurangi interaksi tatap muka antara pemegang otoritas dengan pemilik kepentingan baik itu pengusaha maupun calon penerima dana. Pemanfaatan teknologi informasi akan dapat mengurangi interaksi tatap muka. Kedua, perbaikan lingkungan kerja yang tentunya sangat dipengaruhi oleh figur pimpinan. Dalam budaya paternalis, selain melakukan pengawasan ke bawah, seorang pemimpin harus mampu menjadi suri tauladan bagi bawahannya. Ketiga, untuk perbaikan mental dan moral individu, maka harus dipenuhi dulu kebutuhan (need) dasar para penyelenggara negara sebagai upaya untuk menghilangkan motivasi pelaku korupsi.

Kalau kita mau jujur, hampir semua penyelenggara negara yang berjumlah jutaan dengan hidup mengandalkan gaji seperti sekarang, pasti pernah menerima gratifikasi. Hanya besaran nilainya yang membedakan. Ada yang sekedar untuk memenuhi kebutuhan, tetapi banyak juga yang digunakan untuk melampiaskan keinginan. Dengan demikian, apabila KPK konsisten melaksanakan pemberantasan korupsi seperti sekarang ini, maka terlebih dulu siapkan sejuta penjara untuk mereka.

Dimuat di rubrik opini RADAR BANJARMASIN pada hari Kamis tanggal 5 Maret 2009

0 komentar:

Posting Komentar