Wadah Opini

Jangan biarkan otak kita hanya menjadi otak-otak

Rabu, 13 Mei 2009

GOLF

Diposting oleh imam suharjo

Golf pertama kali dimainkan di Inggris sekitar 500 tahun yang lalu. Tidak seperti olah raga lain, untuk bisa bermain golf diperlukan peralatan yang mahal ditambah iuran sebagai members club yang bernilai jutaan rupiah. Sehingga bagi mereka yang hanya mengandalkan gaji kecil seperti pegawai negeri jangan bermimpi untuk merasakan lembutnya hamparan rumput golf course. Inilah olah raga bergengsi yang hanya dimainkan oleh orang-orang yang kelebihan duit.


Bermain golf tak memerlukan banyak tenaga, hanya ajang pukul memukul bola secara bergantian untuk menuju ke sebuah hole. Dengan demikan banyak waktu luang untuk berbincang, situasi lapangan yang nyaman dan asri akan memberikan kesan tersendiri bagi para pemain dan materi yang diperbincangkan.


Sudah menjadi rahasia umum bahwa golf bukanlah sekedar olah raga. Dalam permainan golf banyak terjadi acara selingan, dari yang kelas ringan sampai kelas berat, antar pengusaha atau penguasa dan pengusaha. Bahkan beberapa keputusan penting pun seringkali diselesaikan dengan lobi melalui olah raga ini. Golf menjadi ajang pertemuan informal bagi pengusaha untuk memperoleh keinginannya, di pihak lain penguasa dapat menambah penghasilannya.

Tak hanya itu, kasus yang sedang menjadi berita hangat di media massa memperlihatkan bahwa golf bukan sekedar olah raga outdoor tetapi bisa juga indoor. Segala bentuk bisnis klas atas bisa dijajakan di arena golf, tak terkecuali yang berbau kriminal. Tapi karena para pemainnya dari golongan high class, maka tidak ada istilah pekat disini. Sebagai contoh taruhan yang terjadi di arena golf bukanlah judi, tapi hanyalah cara untuk meningkatkan prestasi, itu kata mereka.


Kontroversi golf

Sebagian kecil masyarakat kita tentu sangat menikmati permainan golf, sebuah kegiatan olah raga sekaligus rekreasional. Diliputi oleh lanscape padang golf yang indah dan juga pelayanan para caddy nan rupawan, tentu akan memberikan kesegaran luar dalam.


Tapi golf bukanlah lakon surga yang penuh suka dan kenikmatan. Di jaman orde baru, cerita golf sering kali diikuti oleh kisah pilu rakyat jelata yang harus terusir dari tanah mereka secara paksa. Kebutuhan lahan untuk lapangan golf memang tidaklah sedikit, puluhan hektar lahan yang umumnya masih produktif disulap menjadi hamparan rumput lengkap dengan prasarana di dalamnya. Semuanya demi kepentingan segelintir orang


Di era sekarang, tak terdengar lagi pemaksaan secara fisik dalam pembangunan sebuah lapangan golf. Kebanyakan masyarakat melepas tanahnya ke pemilik modal karena adanya intimidasi psikis dari budaya konsumtif. Kesiapan mental dan moral masyarakat yang kurang di tengah pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, mengakibatkan mereka tak mampu menyaring semua informasi yang diterima lewat media massa khususnya televisi.


Tayangan hidup serba glamour di sinetron-sinetron membuai mimpi kaum kebanyakan dan akhirnya menjadi bagian kekerasan psikis yang tak mampu mereka elakan. Satu persatu mereka melepaskan tanahnya dan diganti oleh segepok lembaran uang demi mengejar sebuah mimpi di siang bolong. Saat terbangun, mereka telah kehilangan tanah dan mungkin juga profesinya sebagai petani.


Perubahan peruntukan lahan produktif menjadi sebuah padang rumput mau tak mau juga mempengaruhi produksi pertanian. Adalah sebuah paradoks, Indonesia sebagai negara agraris tetapi setiap tahun harus mengimpor hasil pertanian. Dan ironisnya, negara yang menjadi importir dulunya belajar dari lembaga pendidikan kita.


Kepatutan

Tak ada satupun undang-undang maupun peraturan yang melarang orang untuk bermain golf. Sehingga siapapun, baik itu pemegang kekuasaan, penegak hukum, hakim, anggota dewan, lawyer dan juga pengusaha bebas untuk bermain golf secara bersama-sama atau hanya sesama profesi.


Namun ada yang sedikit mengusik, memang benar legalitas adalah keniscayaan, namun disisi lain kita tak dapat mengabaikan kepatutan sebagai benteng moralitas. Ketika seorang pemegang kekuasaan bertemu dengan pengusaha, atau penegak hukum dan hakim bertemu dengan lawyer terdakwa dalam kenyamanan suasana dan kesempatan interaksi yang bebas di sebuah permainan golf, lalu apakah yang kira-kira terjadi? Pertanyaan ini mungkin sama dengan ketika kita ditanya tentang apa yang terjadi ketika seorang lelaki berduaan dengan perempuan ditempat sunyi.


Ukuran kepatutan memang sangat subyektif, tergantung dengan latar belakang dan persepsi masing-masing individu. Bagi yang konservatif, pertautan antara dua kepentingan dalam satu ajang kegiatan bukanlah hal yang patut untuk dilakukan. Ketika seorang penguasa bertemu dengan pengusaha, atau penegak hukum maupun hakim dengan lawyer terdakwa, maka disangkakan akan terjadi konflik kepentingan di antara mereka.


Tentu saja pendapat konservatif tersebut akan ditentang habis-habisan oleh pelaku golf. Faktual memang memang sulit mengkorelasikan hubungan penyimpangan kebijakan publik dengan permainan golf. Dan dalam dunia bisnis yang serba materialistis, usaha lobi melobi dapat dilakukan dimanapun berada dan tak harus di arena golf.


Beberapa waktu yang lalu kita mendengar tentang dugaan oknum Hakim Agung yang bermain golf di negeri orang dengan biaya dari konglomerat yang diduga mengakibatkan munculnya keputusan yang tak berpihak pada azas keadilan, dan yang terbaru adalah terjeratnya ketua KPK dalam kasus pembunuhan tak dapat menafikan bahwa ada sesuatu di lapangan golf.


Meskipun tak diketahui apakah dua kasus lapangan golf tersebut bersifat kasuistik atau puncak sebuah gunung es, namun tak ada salahnya pendapat konservatif tentang kepatutan dipertimbangkan sebagai acuan etika bermain golf bagi jabatan-jabatan strategis. Seperti aturan KPK yang melarang pimpinannya untuk bermain golf dengan pihak lain atau pihak yang secara langsung atau tidak langsung berpotensi menimbulkan benturan kepentingan sekecil apa pun. Ini adalah upaya untuk mengeliminasi konflik kepentingan.


Ketika seseorang diangkat menjadi pejabat berwenang baik itu di birokrasi pemerintah, penegak hukum, lembaga peradilan atau lembaga-lembaga independen yang banyak dibentuk sekarang ini, maka sudah selayaknya mereka meninggalkan kebiasaan atau hobi-hobi yang dapat menganggu kinerjanya. Secara khusus ICW pernah menyarankan agar dalam uji kelayakan dan kepatutan bagi calon-calon Hakim Agung agar dipertimbangkan untuk tidak menerima calon yang hobi main golf.


Tentu saja golf tidak selalu identik dengan stigma hitam, banyak prestasi yang di toreh dalam olah raga ini seperti yang dicapai oleh Tiger Woods. Kekayaan yang diperoleh dari hasil keringat menjuarai sekian banyak even golf profesional dan iklan, sebagiannya dia donasikan untuk kegiatan sosial. Dan bagi pejabat yang menduduki jabatan strategis sebenarnya masih bisa menjalankan hobinya, namun dengan kesadaran sendiri menghindari bermain golf dengan profesi-profesi yang dapat menciptakan konflik kepentingan.


Analisis sederhana, dalam konteks pertemuan dua kepentingan yang saling membutuhkan dengan situasi dan kondisi suasana mesra seperti di lapangan golf, maka pihak ketiga adalah setan. Kemungkinan terjadinya kerjasama mutualisme tak mungkin dapat elakan lagi.



Dimuat di rubrik opini RADAR BANJARMASIN hari Selasa tanggal 12 Mei 2009


0 komentar:

Posting Komentar