Wadah Opini

Jangan biarkan otak kita hanya menjadi otak-otak

Kamis, 02 Juli 2009

KPK BUKAN AA

Diposting oleh imam suharjo


Setelah beberapa waktu tak terdengar dan tenggelam dengan hiruk pikuknya kampanye capres, kasus ketua KPK yang terjerat dalam pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen kembali mencuat dengan kemunculan saksi kunci Rani Yuliani di Polda Metro Jaya dan diserahkannya berkas pekara tiga dari sembilan tersangka. Cerita tentang ketua dan lembaga KPK sepertinya masih berbuntut panjang.

Sebagai lembaga superbodi, keberadaan KPK terutama pucuk pimpinannya tentu menjadi incaran banyak orang secara pribadi atau kelompok. Tujuannya jelas, secara ideal mereka ingin berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia yang sudah merajalela. Tetapi tidak sedikit yang mempunyai maksud lain, yaitu untuk mengamankan diri dan kelompoknya dari jeratan tipikor yang pernah atau sering dilakukan

Untuk menjadi pimpinan KPK harus melalui beberapa tahapan seleksi, sebelum nantinya diserahkan oleh pemerintah kepada DPR untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan. Ketika di gedung rakyat inilah biasanya muncul bau-bau tak sedap. Campur baurnya segala kepentingan dari mulai politik, pengamanan sampai berhamburannya uang, disinyalir selalu mewarnai setiap pelaksanaan fit and proper test.


Posisi AA

Terpilihnya AA sebagai ketua KPK pada awalnya penuh kontroversi. Melihat latar belakang yang bersangkutan, banyak orang pesimis akan kelanjutan kinerja KPK. Bahkan dipilihnya AA diduga merupakan salah satu bentuk upaya penggembosan KPK. Kegalakan lembaga yang sebelumnya dipimpin oleh Taufiqurrahman Ruki ini memang membuat keder para pejabat negara di pemerintah maupun DPR yang terbiasa dengan UUD (ujung-ujungnya duit).

Namun semua kontroversi perlahan terhapus dengan sepak terjang komisi tersebut yang terasa semakin garang semasa kepemimpinan AA. Ia pun dianggap sebagai akselarator atas kinerja KPK yang cemerlang. Karena hal tersebut, timbul pertanyaan sedikit usil, Sebenarnya yang sukses melaksanakan pemberantasan korupsi itu SBY atau AA? Jawabannya bisa macam-macan tergantung kepentingan, tetapi yang jelas KPK bukanlah lembaga pemerintah di bawah presiden.

Sudah menjadi hukum alam, setiap yang diciptakan pasti memiliki dua sisi. AA yang banyak dipuji sekaligus banyak menuai benci. Mereka yang pernah dijerat dan diobok-obok KPK baik secara pribadi maupun institusi tentu menyimpan dendam dalam hati dan itu tak bisa ditutupi, dan AA lah orang yang dianggap paling bertanggungjawab atas semuanya. Sehingga ketika AA tersandung masalah hukum, sebagian orang tertawa senang,

Sekali lagi AA menuai kontroversi, namun saat ini tentang kebenaran AA yang disangka sebagai intellectual dader (otak pelaku) kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB) Nasrudin Zulkarnaen. Berbagai opini pun merebak, namun yang menguat adalah motif pembunuhan karena cinta segitiga dan konspirasi tingkat tinggi dalam rangka menjatuhkan AA sekaligus pembusukan KPK. Tetapi apapun motifnya, tentu akan lebih baik bila kita menunggu proses hukum di kepolisian atau pengungkapannya di pengadilan nanti.


Pimpinan KPK

Berdasarkan UU No.30/2002 pasal 32 ayat 2 disebutkan bahwa apabila pimpinan KPK menjadi tersangka dalam tindak kejahatan, dia diberhentikan sementara dari jabatannya. Dan masih dalam pasal yang sama, apabila statusnya berubah menjadi terdakwa maka dia akan diberhentikan dari kedudukannnya.

Perlakukan tindakan administratif terhadap pimpinan KPK memang tidak sama dengan pejabat lainnya. Bagi pejabat lain biasanya tindakan administrasi yang berupa pemecatan dilakukan setelah adanya keputusan hukum tetap. Tidak demikian dengan pimpinan KPK, status terdakwa sudah cukup sebagai dasar pemberhentian. Jadi meskipun nantinya putusan hakim menyatakan AA tak bersalah, maka yang bersangkutan tetap tak dapat kembali pada kedudukan semula.

Kondisi inilah yang kemudian memunculkan opini bahwa ada skenario besar dibalik penangkapan AA. Apalagi tak lama berselang Komisi III melakukan RDP (Rapat Dengar Pendapat) dengan pimpinan KPK yang mengusik legalitas kerja KPK setelah ditinggalkan oleh ketuanya. DPR berpendapat bahwa dengan tak dipenuhinya jumlah pimpinan, maka semua tindakan yang dilakukan oleh KPK tak memenuhi unsur legalitas, sehingga otomatis KPK tidak dapat melakukan penangkapan, penyidikan apalagi penuntutan kasus-kasus korupsi. Padahal dalam pasal lain disebutkan bahwa kepemimpinan KPK bukan perorangan tetapi bersifat kolektif.

Sayangnya, pendapat DPR yang sebenarnya masih debatable disampaikan secara atraktif melalui banyak media sehingga mengesankan DPR memberikan pintu masuk bagi lawyer koruptor apabila mereka berhadapan dengan penuntut KPK. Namun kesigapan dan ketegasan pimpinan KPK patut diacungi jempol, kesiapan mereka untuk menanggung semua resiko atas tindakannya yang tetap melaksanakan tugas KPK harusnya di dukung oleh semua pihak termasuk DPR.


KPK adalah sistem

Kekuatiran orang akan menurunnya kinerja KPK setelah penangkapan AA ternyata tak terbukti. Dalam beberapa minggu kemudian KPK tetap eksis dengan menetapkan enam tersangka kasus korupsi, tiga diantaranya adalah anggota DPR dari komisi IV terkait pembangunan Tanjung Api Api. KPK membuktikan bahwa kinerja mereka bukanlah karya perorangan. KPK bukanlah AA, tetapi sebuah sistem yang tertata dan dijalankan secara konsisten oleh semua aparat yang ada didalamnya.

Sebagai satu sistem, kinerja KPK relatif tidak dipengaruhi oleh ada tidaknya satu individu. Ini sangat berbeda dengan yang berlaku di institusi lain. Meskipun sama-sama sebuah sistem, kebanyakan kinerja institusi sangat ditentukan oleh keberadaan satu pimpinan. Apalagi institusi tersebut bernama pemerintah baik pusat atau daerah, disana berlaku ketentuan ganti pimpinan ganti kebijakan, ganti selera dan bila perlu ganti semuanya..

Nasib AA memang tragis, dari pejabat yang disegani langsung berubah menjadi pesakitan. Namun kisah tersebut mudah-mudahan tidak mengendorkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Menjadi catatan bagi mereka yang masih ingin menggembosi KPK, bahwa KPK tidak akan mati kecuali UU No.30 tahun 2002 dicabut. Tetapi siapapun yang ingin mencabutnya, bersiaplah menghadapi gejolak massa.

Dimuat di rubrik opini RADAR BANJARMASIN pada hari Jumat tanggal 3 Juli 2009



1 komentar:

arvicom mengatakan...

saya kecewa dengan bea cukai HALIM
karena ketidaktahuan saya
saya memesan barang dari hongkong menurut beacukai halim saya harus menyertai sertifikasi postel kemudian dengan bapak rustam perantara bapak andi hanggar halim saya dikenakan biaya katanya under table sebesar Rp. 2.500.000,- saya menolak karena saya harus membayar sebesar itu sehubung FOB saya hanya 8jtan dan belum saya harus membayar bea masuk sebesar 2.500.000,- karena ketidak tahuan saya akhirnya saya tanyakan ke dirjen postel pihak postel memberikan waktu kira2 2 bulan untuk dapat sertifikasi apakah dengan selama itu saya harus menunggu barang saya apakah dengan seperti resi dari pihak postel saya dapat mengambil barang saya berhubung proses sertifikasi saya lakukan mohon kiranya sarannya. terima kasih

Posting Komentar