Wadah Opini

Jangan biarkan otak kita hanya menjadi otak-otak

Minggu, 11 Oktober 2009

MENGURAI BENANG KUSUT

Diposting oleh imam suharjo

Anomali adalah istilah yang digunakan pada fenomena keganjilan air yang tidak mengalami pemuaian ketika suhunya dinaikan pada batas tertentu. Perilaku air ini tentu menyimpang hukum fisika umumnya. Penyimpangan perilaku ternyata tidak hanya milik fisika, dalam bidang manajemen juga terjadi hal seperti itu. George R Terry, seorang pakar ilmu manajemen tentu akan berkerut keningnya apabila menyaksikan fenomena manajemen yang terjadi di Indonesia.


Teorinya yang tertuang dalam buku Principles of Management tentang Planning (perencanaan), Organizing (organisasi), Actuating (pelaksanaan) dan Controlling (Pengawasan) tidak berjalan semestinya di negara ini, walaupun secara organisatoris Indonesia telah memiliki institusi-institusi perencanaan, pelaksana teknis maupun pengawasan seperti yang dikehendaki dalam prinsip manajemen.


Bahkan untuk fungsi controlling, Indonesia memiliki banyak sekali institusi pengawas baik intenal maupun eksternal pemerintah, institusi yudikatif, institusi khusus, Lembaga legislatif (DPR/D) serta pengawasan dari lembaga non pemerintah. Namun fakta yang terjadi adalah tujuan negara belum dapat tercapai secara efektif dan efisien.


Didalam Institusi pengawas intenal pemerintah terdapat Inspektorat Jenderal di Departemen, Inspektorat Propinsi, Inspektorat Kabupaten/kota dan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dijaman orde baru masih ada lagi institusi pengawas dibawah Sekretariat Negara seperti Inspektorat Jenderal Pembangunan (Irjenbang). Laporan hasil pemeriksaan dari instusi pengawas interen tersebut disampaikan langsung kepada pimpinan instansi terperiksa untuk ditindaklanjuti.


Sementara pengawasan eksternal pemerintah dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), laporan hasil pemeriksaan BPK disampaikan kepada Lembaga Legislatif. Sedangkan institusi yudikatif seperti kepolisian dan kejaksaan dapat melakukan pengawasan dan pemeriksaan setelah mendapat pengaduan atau menemukan indikasi kuat penyimpangan.


Belum cukup dengan kinerja institusi yang ada, negara pun membentuk insitusi khusus yang berkaitan dengan korupsi. Dimulai tahun 1957 melalui Panglima Penguasa Militer sampai Komisi Pemeriksa Keuangan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang kemudian diganti dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sekarang sedang hangat dibicarakan di media masa berkaitan dengan dugaan keterlibatan para pimpinannya dengan masalah hukum.


Banyaknya institusi pengawas di Indonesia selama ini tidak menjadikan manajemen berjalan efisien, tetapi cenderung semakin meningkatkan kebocoran uang negara. Anomali ini pernah disampaikan oleh bagawan ekonomi Indonesia yang sekaligus menteri di jaman orde baru beberapa tahun silam yang menyatakan bahwa telah terjadi kebocoran uang dalam pengelolaan anggaran belanja negara.


Modus Operandi

Fungsi pengawasan sering disalahgunakan oleh oknum pengawas/auditor hitam yang masih ada di institusi pengawas internal maupun eksternal. Mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan pengawasan terhadap obyek pemeriksaan (obrik) sudah dicampuri tangan-tangan pengawas/auditor hitam. Tujuannya tidak lain adalah keinginan oknum mengais rejeki dari obrik atau kepentingan lain.


Hal ini dapat dilihat dengan dipilihnya obrik-obrik yang mengelola anggaran besar dengan tujuan bukan untuk menemukan penyelewengan tetapi hanya untuk mendapatkan layanan prima dan uang saku yang besar. Bagi obrik, pengawas/auditor memang bagaikan raja yang harus dilayani dan diberi upeti, dan oknum pengawas/auditor hitam mencoba memanfaatkan kondisi ini.


Modus operandi yang dilakukan oleh pengawas/auditor hitam untuk memperoleh keinginannya menghasilkan temuan yang terkesan bias dan cenderung memojokan obrik. Meskipun obrik diberi kesempatan untuk menanggapi dan memberikan penjelasan terhadap temuan tersebut, namun kondisi psikologis obrik yang terpojok dan penuh kecemasan atas temuan pemeriksaan akan mudah ”dikerjai” oleh oknum pengawas/auditor hitam untuk melakukan tawar menawar. Lain lagi bila ada kesepakatan lebih dahulu, temuannya bisa diatur.


Sudah menjadi rahasia umum dikalangan obrik bahwa tebal tipisnya temuan tergantung dengan tebal tipisnya amplop. Tipis amplop yang diberikan maka berdampak pada tebal (banyak) nya hasil temuan demikian sebaliknya. Untuk mempertebal amplop, maka tidak ada cara lain kecuali obrik melakukan akrobat pada pelaksanaan anggaran atau memotong dana pihak kedua agar dapat mengumpulkan dana taktis.


Benang kusut

Entah siapa yang memulai, yang jelas lilitan gurita korupsi di kalangan birokrat bagai benang kusut yang sulit terurai. Selama ini lembaga lembaga pengawas non struktural dibentuk hanya untuk menghilangkan akibat dibanding penyebab, oleh karenanya tak mengherankan apabila lembaga-lembaga tersebut akhirnya mati atau larut dalam gelombang korupsi yang berkepanjangan.


Perilaku penyelewengan mungkin diawali dari sekedar memenuhi kebutuhan disaat aparat pelaksana tak mampu mengelola gaji yang minim untuk mencukupi kebutuhan selama sebulan karena kebanyakan anak atau memiliki istri dengan jumlah lebih dari yang sepatutnya. Ketika ada kesempatan menambah penghasilan melalui kewenangan yang dimiliki, maka kesempatan tersebut tak akan disia-siakan.


Disisi lain, aparat pemeriksa/pengawas pun mempunyai problem yang sama. Maka kedua kepentingan ini pun berkolaborasi untuk melakukan usaha menambah penghasilan. Perkembangan selanjutnya tidak lagi sekedar mencukupi kebutuhan, tetapi berubah menjadi untuk memenuhi keinginan gaya hidup metropolis yang serba konsumtif dan penuh gaya. Tak ada lagi rasa malu dalam diri aparat untuk tampil mewah, padahal semua orang tahu, gaji pegawai tak akan bisa memenuhi semua itu.


Efek dai hasil kolaborasi ini tidak saja menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di dunia, tetapi juga negara kaya yang tak mampu meng-kaya-kan mayoritas rakyatnya. Reformasi yang digulirkan tidak dapat mengikis perilaku ini, bahkan budaya korupsi semakin tak terkendali akibat kajian ”aji mumpung” dari orang-orang yang bermental kacung jadi raja. Keadaan mirip benang kusut terendam air, sudah ruwet masih ditambah basah lagi.


Memberdayakan Pengawasan

Sesulit apapun, benang kusut yang sudah terlanjur basah harus tetap bisa diurai, bila tidak maka sampai kapanpun Indonesia tak akan pernah terbangun dari mimpi buruknya. Keberadaan KPK adalah bagian dari cara mengurai benang kusut, namun dengan kondisinya yang sekarang maka tugas dan fungsi KPK harus di dukung oleh penegak hukum yang lain.


Tidak itu saja, sebagian tugas KPK juga bisa dijalankan oleh fungsi pengawas internal pemerintah. Tugas tersebut terutama dalam hal pencegahan dari tipikor. Melalui pengawas internal dapat dilakukan deteksi dini terhadap upaya penyelewengan uang negara, namun dengan syarat aparat pengawas internal pemerintah harus memiliki skill yang cukup dan memiliki dedikasi dan perilaku yang mendukung fungsinya agar tak mudah tergoda kekuasaan dan penyuapan.


Bila bercermin pada kinerja KPK, maka di lembaga tersebut selain diisi oleh orang-orang yang memiliki keahlian yang memadai, juga ditunjang dengan penghasilan dan biaya operasional yang cukup. Untuk itu, memberdayakan aparat fungsional dalam ikut serta mengurai benang kusut, maka setidaknya juga dilakukan hal yang sama. Namun sebelum semua itu dapat direalisasikan, maka tidak ada salahnya bila dilakukan kocok ulang pada semua aparat pengawas internal melalui uji kelayakan dan kepatutan.


Sudah waktunya instansi pengawas internal pemerintah tidak lagi menjadi tempat pembuangan aparat yang berpenyakitan. Karena bila dibiarkan demikian, penyakit yang mereka bawa akan menular ke aparat pelaksana lainnya. Dampaknya adalah manajemen menjadi tidak efesien dan memberati keuangan negara. Kolaborasi antara keduanya juga akan menurunkan kinerja pelayanan, karena masing-masing lebih sibuk memikirkan penghasilan tambahan.


Memberdayakan aparat pengawas internal adalah salah satu cara untuk mengurai benang kusut. Tak ada lagi alasan bagi intansi pelaksana sibuk mengumpulkan dana taktis untuk keperluan ”melayani” pemeriksaan, karena aparat pengawas telah ”imun suap”. Memperbaiki anomali manajemen di Indonesia sepertinya harus dimulai dari aparat pengawas/pemeriksa.

Dimuat di rubrik opini RADAR BANJARMASIN hari Sabtu tanggal 17 Oktober 2009

0 komentar:

Posting Komentar