Wadah Opini

Jangan biarkan otak kita hanya menjadi otak-otak

Minggu, 08 November 2009

CICAK TEWAS NYAMUKPUN BEBAS

Diposting oleh imam suharjo

Testimoni mantan ketua KPK terus mengelinding tak tentu arah. Dua pimpinan KPK yang menjadi sasaran tembak telah mendekam di balik jeruji penjara Mako Brimob. Tidak menutup kemungkinan mereka akan bergabung dengan para terdakwa kasus korupsi titipan KPK, bisa dibayangkan betapa panasnya ruang sempit yang berisi manusia dari dunia yang berseberangan . Tetapi diluar kondisinya tak kalah panas,. isu yang mengiringi bola liar Antasari terus melejit sampai menohok petinggi negeri.


Pekan ini masyarakat dibuat bingung atas jalannya pertarungan cicak dan buaya. Istilah cicak dan buaya menjadi populer ketika seorang petinggi polri yang berkompeten di bidang penyidikan membuat pernyataan bahwa alat komunikasinya di sadap oleh sebuah institusi yang kemudian disebutnya cicak dan diri/institusinya sebagai buaya . Dugaan siapa cicak berkembang dan mengarah kepada KPK sebagai institusi yang selama ini paling getol melakukan penyadapan atas kasus korupsi.


Cicak hanyalah binatang melata yang hidupnya sangat tergantung pada si tuan rumah. Keberadaan cicak diperlukan untuk membasmi nyamuk-nyamuk nakal yang senang mengisap darah penghuni rumah. Dalam kondisi luar biasa, dimana jumlah nyamuk sudah memenuhi isi ruang rumah, menjadi wajar bila kemudian sang cicak diberikan kekuatan super agar mampu melahap semua nyamuk.


Namun cicak tetaplah cicak, tubuhnya jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan buaya. Sebagai binatang reptil, buaya telah hidup lebih dari puluhan tahun sebelum cicak diciptakan. Buaya tak suka makan nyamuk, tetapi lebih sering makan manusia. Sehingga bila cicak dan buaya ini harus berhadapan diatas ring, dapat dipastikan cicak akan kalah. Tewasnya cicak akan menjadi ajang pesta pora para nyamuk untuk bebas menghisap darah penghuninya. Dan bila terus dibiarkan, suatu saat sang pemilik rumahpun bisa menjadi korban keganasan nyamuk.


Senjata opini

Dari segi kuantitas dan kualitasnya, nyamuk di Indonesia tergolong sangat luar biasa. Sudah berapa kali negara ini mencoba untuk membuat obat pembasmi nyamuk yang ampuh, tetapi selalu gagal dan gagal. Keberadaan cicak di awal reformasi adalah sebuah harapan baru dalam rangka pembasmian nyamuk, harapan itu menjadi semakin kuat ketika para penghuni rumah menyaksikan sepak terjang cicak dalam melahap nyamuk.


Namun untuk bertarung dengan buaya, cicak tentu tak akan berdaya. Fisik buaya yang jauh lebih besar dengan giginya yang tajam jelas bukan tandingan cicak. Sekali injak, si buaya dapat melumatkan cicak. Apalagi bila si buaya dibantu dengan gerombolan komodo yang juga hobi makan manusia. Habislah sudah.


Diatas ring hukum si buaya dan komodo mungkin boleh diatas angin, tetapi mereka lupa bahwa sang cicak tidaklah sendirian. Dibelakang cicak berdiri jutaan penghuni rumah yang siap membantu sang cicak dalam menghadapi pertempuran yang tak seimbang. Mereka adalah para penghuni rumah yang selama ini gerah dengan banyaknya nyamuk yang tega menghisap darah tanpa acuh, tak terkecuali darah anak-anak hingga kurus dan kekurangan gizi.


Peperangan di luar ring sepertinya akan dimenangkan oleh pendukung cicak. Dengan menggunakan amunisi opini yang ditembakan dengan pelontar media, posisi buaya dan komodo tak bisa dibilang tegak. Apalagi isu adanya rekayasa pertandingan untuk meng-KO cicak mulai beredar luas, membuat kemenangan yang semula sudah di tangan buaya pun buyar. Pertandingan menjadi seru dan menjadi sedikit berimbang, tapi dipihak lain sang nyamuk yang mungkin menjadi promotor di belakang layar tentu sangat bergembira atas suksesnya pentas ini.


Kegagalan koordinasi

Fenomena cicak dan buaya adalah sebuah kegagalan koordinasi dalam sistem manajemen. Hal ini diakibatkan pertama karena masih kuatnya ego sektoral dari masing-masing institusi. Kedua karena adanya pejabat yang lebih suka menyelesaikan masalah dengan menggunakan kewenangannya secara berlebihan dan tak pada tempatnya. Dan ketiga, masih banyak pejabat yang tak kuat menyandang jabatannya yang ditunjukkan dengan sikap arogan.


Sebelum KPK dibentuk, tugas sebagai penegak hukum berada di tangan kepolisian dan kejaksaan. Kemunculan KPK dan sepak terjangnya diakui atau tidak secara psikologis mempengaruhi eksistensi dua institusi yang telah lama ada. Apalagi program kerja KPK kedepan akan memprioritaskan pembersihan KKN dalam bidang penegakan hukum dan peradilan yang selama ini sering dikeluhkan banyak pihak. Kesan yang timbul adalah dua institusi penegak hukum tersebut dianggap tidak bersih dan KPK adalah sapu bersih yang siap melibas siapapun.


Efek psikologis tersebut mau tidak mau memunculkan persaingan. Hanya saja persaingan yang terjadi bukan untuk berlomba menangkap koruptor, tetapi rivalitas yang saling mengabaikan. Kita saksikan bagaimana polisi tak acuh terhadap laporan pencekalan KPK terhadap direktur Masaro, sehingga bukanlah kesalahan bila seorang pejabat kepolisian mendatangi si buronan KPK tersebut di luar negeri. Sikap ego sektoral yang luar biasa.


Penggunaan kewenangan yang berlebihan terlihat dari keanehan ketika sebuah institusi penyidik memeriksa kewenangan penyidik lain. Dalam kasus hukum yang umum, bila terjadi penyalahgunaan wewenang dari penegak hukum, maka tersangka yang merasa dirugikan bisa mengajukan praperadilan. Tetapi dalam kasus KPK hal itu sepertinya tak berlaku, Direktur Masaro tak perlu repot mempraperadilkan KPK, karena sudah diselesaikan polisi. Sebuah penggunaan kewenangan yang hebat.


Orang sering tak menyadari bahwa jabatan hanyalah sebuah amanah dari Tuhan bukan dari atasan, sehingga kelak harus dipertanggungjawabkan di depan pengadilan Tuhan. Amanah tidaklah abadi seperti tidak kekalnya umur manusia. Oleh karena itu, adalah sebuah ketololan bila manusia mengagungkan jabatannya dengan bersikap arogan, siapa kamu siapa aku. Gue bos lu jongos, Kamu cicak aku buaya, jangan macam-macam.


Tim Independen Verifikasi

Pertarungan cicak dan buaya telah melebar ke masalah sosial politik. Pers conference yang dilaksanakan baik oleh Presiden maupun Kapolri sepertinya belum mampu menenangkan gejolak masyarakat peduli korupsi selama tidak ada satu bukti dukung yang meyakinkan. Meskipun Presiden telah menyatakan bahwa beliau siap berdiri didepan apabila ada upaya ingin menghabisi KPK, tetapi pernyataan itu sangat normatif sebelum diwujudkan dalam satu tindakan nyata.


Banyak tokoh dan pemerhati menyarankan agar presiden sebagai kepala negara membentuk tim independen untuk menyelidiki hal ihwal penangkapan pimpinan KPK oleh kepolisian. Tim ini diperlukan karena telah terjadi keruntuhan trust building masyarakat terhadap kepolisian, sehingga apapun yang disampaikan oleh polisi atas kinerjanya dalam penyidikan petinggi KPK, tak dapat merubah opini yang sudah terlanjur negatif.


Pembentukan tim independen ini sangat penting agar citra polisi yang selama kepemimpinan Jenderal Bambang H sedang dibangun tidak mengalami degradasi. Chaos hukum inipun bila tidak kunjung selesai juga akan berdampak pada kinerja kabinet 100 hari kedepan serta turunnya pamor presiden SBY yang namanya ikut tercatut dalam rekaman telepon rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK. Kearifan Presiden SBY akhirnya meluluskan saran tersebut dengan membentuk Tim Independen Verifikasi (TIV). Semoga nasib tim ini tak seperti TPF-TPF yang pernah dibentuk sebelumnya.


Masyarakat pada dasarnya tidaklah membela orang bersalah siapapun dia, tetapi kronologis kasus hukum Bibit – Candhra membuat orang banyak bertanya-tanya. Apa yang sedang terjadi di negeri ini ? KPK yang selama ini menjadi ujung tombak penanganan korupsi, harus terjungkal oleh institusi yang seharusnya ikut bersinergi dengan KPK dalam memberantas korupsi.


KPK memang bukanlah lembaga permanen, suatu saat lembaga ini bisa dibubarkan bila korupsi tidak lagi menjadi extraordinary crime di Indonesia. Tetapi untuk saat ini, cicak tak boleh tewas kalau tak ingin nyamuknya bebas.


Dimuat di rubrik opini RADAR BANJARMASIN hari Kamis tanggal 5 Nopember 2009



0 komentar:

Posting Komentar