Wadah Opini

Jangan biarkan otak kita hanya menjadi otak-otak

Kamis, 12 November 2009

PAHLAWANKU PAHLAWANMU

Diposting oleh imam suharjo

Kematian Brigadir Jenderal Malaby membuat berang sekutu yang dipimpin Inggris. Lalu, seranganpun dilancarkan oleh tentara sekutu dari segala penjuru darat, laut, dan udara untuk menggempur pertahanan arek-arek Suroboyo yang dianggap bertanggungjawab atas tewasnya Malaby. Tepat 10 Nopember 1945, ibu kota propinsi Jawa Timur itu di bombardir habis-habisan oleh sekutu yang didomplengi oleh serdadu kompeni. Satu persatu para pejuang berguguran, namun semangat mereka tak pernah pudar, ”Merdeka atau mati, Allahu Akbar....” pekik Bung Tomo.


Malaby hanyalah sebuah justifikasi, kedatangan tentara sekutu ke Surabya yang seharusnya hanya untuk melucuti senjata Nippon yang kalah di PD II, dimanfaatkan NICA untuk mengeliminasi kemerdekaan bangsa Indonesia yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Kesempatan pun terbuka dengan menjadikan kasus Malaby sebagai alat untuk menghancurkan eksistensi NKRI. Sepertinya kompeni masih ingin mengangkangi kembali Indonesia setelah 350 tahun menjajah.


Sudah enam puluh empat tahun, para pahlawan yang gugur berbaring dalam dekapan tanah pertiwi. Tulang belulang mereka menjadi saksi bahwa kemerdekaan itu bukanlah hadiah, tetapi sebuah perjuangan yang mengorbankan jiwa raga, harta benda dan tangisan darah. Tujuan mereka tak lebih hanya agar anak cucu dan seluruh rakyat Indonesia dapat terlepas dari penderitaan akibat kesewenang-wenangan penjajah selaku penguasa.


Kesewenangan penguasa Belanda selama menjajah memberikan efek yang dalam bagi rakyat Indonesia, bukan hanya penderitaan rakyat jelata yang dirasakan, tetapi menusuk sampai ke sikap mental para bangsawan. Penjajah Belanda telah memberikan contoh riil tentang bagaimana cara menjadi penguasa. Sehingga ketika penjajah tak ada lagi, gaya kompeni masih banyak digunakan oleh oknum penguasa untuk mewujudkan keinginannya. Tak ayal, meski sekian puluh tahun merdeka, masih ada elemen rakyat yang hidup tertindas oleh bangsa sendiri baik secara struktural, kultural maupun finansial.


Pahlawan

Pahlawan berasal dari kata pahala yang berarti orang yang berpahala. Dalam terjemahan bebas dapat juga dikatakan bahwa pahlawan adalah orang yang berjasa bagi bangsa atau golongan ataupun individual. Para pejuang yang gugur dalam mempertahankan kemerdekaan merupakan patriot bangsa yang berjasa bagi bangsa dan negara, sehingga rakyat dan pemerintah Indonesia sepakat bahwa mereka memang layak disebut pahlawan bangsa.


Setelah masa perjuangan selesai, pemerintah masih memberikan status kepahlawanan kepada golongan tertentu. Di jaman orde baru, perlakuan khusus diberikan kepada ABRI sebagai warga pilihan, sehingga apabila ada perwira tingginya yang meninggal maka mereka akan di kuburkan di taman makam pahlawan dan secara tak langsung dianggap sebagai pahlawan.


Kebiasaan di jaman orde baru mulai sedikit berkurang setelah reformasi, tetapi pemerintah masih memiliki dua jargon pahlawan lagi yaitu pahlawan tanpa tanda jasa dan pahlawan devisa. Terhadap kedua pahlawan ini, pemerintah tidak memberikan perlakuan khusus atas gelar pahlawan yang diberikan, karena gelar tersebut hanyalah pemanis kata tanpa makna yang memang suka diungkapkan pejabat kita.


Secara individual, pahlawan tanpa tanda jasa pantas di berikan kepada guru di jaman penulis masih duduk di bangku SD dulu. Ketulusan dan pengabdian guru dalam mengajar benar-benar tak kenal pamrih, meski para muridnya hanyalah anak kampung yang tak punya baju seragam dan sepatu sekolah. Bimbingan belajar diberikan dirumah tanpa sedikitpun memungut biaya, walau sang guru tahu resiko bahwa lantai rumahnya akan dikotori lumpur dari telapak-telapak mungil murid yang tak beralas kaki. Guruku benar-benar pahlawanku.


Sekarang, menyandangkan gelar pahlawan tanpa tanda jasa kepada guru tergantung kondisi, bila kita bertanya pada orangtua/wali murid dapat dipastikan tak semua dari mereka sepakat dengan pemberian gelar tersebut. Sebagian orang tua murid tentu merasakan betapa jauhnya nilai pengabdian guru jaman dulu dan sekarang.


Guru tak lagi menjadi profesi pengabdian. Dengan kenaikan tunjangan yang demikian besar dan masih ditambah pendapatan dari iuran komite ataupun lainnya menjadikan guru sebagai profesi yang menjanjikan. Belum lagi tambahan dari biaya les murid, meski seharusnya wajib bagi guru mengajar selama 24 jam sebagai konsekuensi dari tunjangan yang telah diberikan.


Gelar pahlawan devisa memang layak diberikan kepada tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri yang telah menyumbangkan hampir sembilan puluh trilyun devisa. Gelar tersebut mungkin melambungkan perasaan para TKI, tetapi sebenarnya bukan itu yang mereka perlukan, para TKI hanya ingin nasibnya dilindungi oleh pemerintah selama mereka menjalankan profesinya di negeri orang.


Kekerasan yang sering dilakukan oleh para majikan di luar negeri menjadi momok tersendiri bagi TKI. Beberapa kasus menunjukan bahwa penanganan pemerintah terhadap kekerasan TKI seperti tak memiliki prosedur standar dan hanya tergantung situasi, sebagai contoh penanganan kekerasan TKI dalam situasi menjelang pemilu akan berlainan dengan diluar pemilu. Sikap pemerintah ini tentu sangat kontradiksi dengan gelar pahlawan yang diberikan kepada mereka namun tak dibarengi dengan perhatian.


Siapakah pahlawanmu ?

Di luar pahlawan bangsa, setiap orang memiliki pahlawan. Seorang gadis yang sedang kasmaran akan menjadikan sang kekasih sebagai pahlawan hatinya. Iwan fals dalam lirik lagunya memposisikan ibu sebagai pahlawan yang berjuang demi anaknya walau tapak kaki penuh darah penuh nanah. Ibu yang dimaksud Iwan Fals tentu bukannlah ibu-ibu yang asyik dengan kegiatannya sendiri di organisasi sementara anak-anaknya dibiarkan tumbuh dan berkembang dengan pembantu.


Dunia penegakan hukum kita pun dipenuhi dengan para pahlawan. Istilah markus (makelar kasus) hanyalah sebutan dari orang-orang yang sinis, padahal sebenarnya markus-markus tersebut adalah para pahlawan bagi sebagian aparat penegak hukum. Bagaimana tidak, dengan jasa pahlawan markus para oknum penegak hukum dapat menikmati kehidupan elit di perumahan satelit dengan biaya hidup selangit. Gaya hidup tersebut tak mungkin di dapat hanya mengandalkan gajih sebulan.


Menjadi sebuah tontonan bila kemudian ada oknum yang siap berkorban demi pahlawan markus yang telah berjasa baginya. Namun pengorbanan mereka harus dibayar mahal dengan hancurnya kredibilitas sebuah institusi, korbanpun berjatuhan termasuk gugurnya para penegak hukum yang memiliki dedikasi, kompetensi dan moralitas tinggi. Mereka harus menanggung akibat dari nilai setitik yang merusak susu sebelanga.


Dari sekian jenis pahlawan, ada satu pahlawan yang berjuang hanya demi kepentingan diri sendiri. Dialah pahlawan kesiangan yang banyak berkeliaran dalam dunia politik. Pahlawan-pahlawan ini akan bermunculan saat menjelang pemilihan di tingkat nasional maupun lokal. Berbagai kegiatan dan bantuan di hamburkan pahlawan kesiangan kepada masyarakat dengan satu tujuan agar mereka di gotong menuju tampuk kekuasaan.


Posisi pahlawan memiliki arti penting bagi setiap orang. Semakin besar jasa pahlawan dalam membela kepentingan, semakin tinggi juga posisinya di mata pemilik kepentingan. Sehingga bila kita bertanya pada para koruptor, siapakah pahlawanmu ? InyaAllah mereka akan serentak menjawab : ANGGODO !!!


Apapun status Anggodo, namun sepak terjangnya telah membuat ke tiga institusi penegak hukum dan pemberantasaan korupsi tidak bisa berkonsentrasi penuh untuk menjalankan tugasnya.


Dimuat di Rubrik Opini RADAR BANJARMASIN hari Jumat tanggal 13 Nopember 2009

0 komentar:

Posting Komentar