Wadah Opini

Jangan biarkan otak kita hanya menjadi otak-otak

Kamis, 26 November 2009

MENGUJI RUKUN ISLAM KELIMA

Diposting oleh imam suharjo

Haji sebagai penutup rukun islam kelima wajib hukumnya bagi umat islam yang mampu. Mampu dalam arti cukup biaya bagi yang melaksanakan maupun keluarga yang ditinggalkan, cukup umur serta sehat jasmani maupun rohani. Ibadah haji memang lebih komplek dibanding dengan keempat rukun yang lain, dan tak semua orang dapat melaksanakannya. Selain diperlukan kesiapan iman, uang dan fisik, menunaikan haji perlu dukungan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan pihak lain.


Haji dilaksanakan dalam waktu dan tempat yang telah ditentukan. Ritual ibadah haji dimulai pada tanggal 8 Dzulhijjah ketika jamaah calon haji bermalam di Mina yang dilanjutkan dengan wukuf di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah. Wukuf atau berdiam diri dan berdoa di tempat pertemuan Nabi Adam dan Hawa yang dilaksanakan dari pagi hingga maghrib merupakan inti haji Berkumpulnya jutaan manusia ini menggambarkan kondisi penantian pengadilan Illahi di padang masyar kelak.


Ritual dilanjutkan dengan mabit (bermalam) di sebuah tempat antara Mina dan Arafah yang bernama Muzdalifah. Di tempat ini para calon haji mengambil batu-batu kecil yang disiapkan untuk melempar jumrah. Esok hari tanggal 10 Dzulhijjah, setelah fajar menyingsing dilakukan pelemparan jumrah aqobah. Pada saat yang sama, umat islam di seluruh belahan dunia merayakan hari raya Idhul Adha atau hari raya kurban.


Pelemparan jumrah aqobah merupakan titik kritis ritual haji yang memerlukan dukungan ketahanan fisik. Lebih dari dua juta manusia secara bersamaan melakukan pelemparan batu ke satu titik sebagai simbol setan dalam kurun waktu yang terbatas. Meskipun pemerintah Arab Saudi telah meningkatkan tempat melempar jumrah menjadi tiga tingkat, tetapi kondisi padatnya manusia menjadi rawan bagi mereka yang memiliki fisik lemah.


Setelah meyelesaikan jumrah aqobah, calon haji dapat mencukur rambut atau sebagian rambut, dan dilanjutkan dengan bisa Tawaf Haji atau bermalam di Mina dan melakukan pelemparan jumrah ula, wustha dan aqobah pada tanggal 11 dan 12 Duzulhijjah bagi yang ingin melaksanakan nafar awal. Pada saat itu jamaah haji sudah dapat melepaskan pakaian ihramnya dan status haji sudah disandang.


Biaya Haji

Iman, uang dan fisik tak cukup untuk dapat menuaikan ibadah haji, masih membutuhkan dukungan sarana dan prasarana seperti legalisasi, transportasi dan akomodasi. Untuk kepentingan itulah maka peran pemerintah diperlukan dalam penyelenggaran ibadah haji, dan semuanya harus dibayar oleh calon jemaah haji.


Selama masa penyelenggaraan haji oleh pemerintah, biaya haji tak pernah sekalipun mengalami penurunan, selalu naik dan naik. Tentu saja pemerintah mempunyai pembenaran untuk itu, dari alasan kenaikan nilai kurs dolar Amerika sampai pembengkaan biaya pemondokan. Umatpun hanya bisa pasrah menerima alasan tersebut karena tak ada pilihan penyelenggara lain kecuali melalui biro penyelenggara ONH plus yang biayanya hampir dua kali lebih mahal.


Bila dihitung dengan menggunakan kurs dolar, biaya haji di era orde baru berkisar pada angka 3.250 dolar, sementara biaya haji tahun ini dengan nilai kurs rata-rata Rp. 10.000,- per dolar adalah sebesar 3.500 dolar atau 35 juta rupiah. Jelas angka ini tak akan mampu lagi ditutupi oleh para pegawai negeri yang ingin memanfaatkan uang TASPEN untuk biaya haji seperti dulu.


Memang ironis, orde baru yang dicap sebagai biang korupsi ternyata bisa mematok biaya haji lebih kecil dibanding saat ini. Dulu juga tak ada pengendapan setoran haji sebesar 20 juta perorang, karena tak dikenal adanya waiting list. Sekarang, dengan daftar tunggu rerata minimal 5 tahun, maka bisa dihitung berapa total uang setoran yang mengendap di bank beserta bagi hasilnya. Sebuah nilai yang sangat besar.


Meski biaya haji selalu mengalami kenaikan dan calhaj ”dipaksa” men-DP 20 juta, bukan berarti terjadi peningkatan pelayanan. Hampir setiap tahun ditemui permasalahan yang mengganggu ritual peribadahan. Untungnya, upaya-upaya lembaga legislatif yang ingin mengangkat kasus ini melalui hak angket selalu kandas dan menghilang begitu saja.


Umatpun tak ambil pusing, bagi meraka yang penting dapat menunaikan ibadah haji, karena bagi sebagian umat islam di sejumlah daerah di Indonesia, haji bukan saja menjadi kewajiban tetapi juga sebagai simbol prestise yang dapat menaikkan status seseorang di mata masyarakat. Sementara yang lain menganggap, apapun yang terjadi dalam pelaksanaan ibadah haji merupakan ujian yang harus diterima dengan ikhlas.


Ujian haji

Ikhlas merupakan puncak kematangan rohani manusia dalam menghadapi liku-liku kehidupan. Ikhlas tidak datang begitu saja melainkan melalui banyak ujian. Dan ibadah haji adalah salah satu sarana penting untuk menguji seseorang dalam meraih keikhlasan. Ritual haji yang begitu berat dengan iklim yang tak bersahabat, ditambah pelayanan yang dibawah standar walau ongkos telah meningkat, menjadi ujian-ujian kecil bagi jamaah.


Keimanan pun tak luput dari ujian, ketakjuban terhadap bangunan Ka’bah sering membuat jamaah lupa bahwa Ka’bah bukanlah segalanya. Ka’bah seolah menjadi tujuan ibadah haji yang penuh keramat, bahkan apapun yang berasal dari Ka’bah seperti kain penutup maupun air hujan yang meluncur dari talang menjadi rebutan jamaah untuk digunakan sebagai jimat, Naudzubillah. Seharusnya diingat bahwa Ka’bah hanyalah sarana pemersatu kiblat, tujuan ibadah tetap memenuhi panggilan Allah. ”Labaik Allahuma Labaik....”.


Dan ujian terbesar adalah ketika gelar haji sudah disandang dan kopiah putih telah terpasang. Saat itulah perilaku seseorang diuji apakah dia menjadi haji mabrur atau hanya ”haji kabur”. Haji mabrur bukan dilihat dari berapa kali orang naik haji, juga bukan berapa banyak orang mengumpulkan berlipat pahala dengan beribadah di tempat-tempat suci. Haji mabrur ditunjukan dengan sikap dan martabat terhormat, menebarkan rahmat dan teguh memegang amanat serta konsisten antara ucapan dan perbuatan.


Sementara itu, sesuai namanya haji kabur ditunjukan dengan sikap khianat, hanya menebar janji tapi tak pernah ditepati dan bisanya kabur dari tanggungjawab. Indonesia memilki rakyat, konglomerat dan pejabat yang bergelar haji dengan prosentase cukup besar, bahkan sebagian dari mereka telah menunaikan haji lebih dari satu kali, tetapi anehnya kita tak pernah lepas dari korupsi. Lalu dimanakah haji mabrur berada ?


Mungkin ada yang salah dalam memahami haji, ibadah haji masih dianggap sebagai sarana mengumpulkan pahala dan penebus dosa daripada memaknai nilai ibadah. Pemahaman yang demikian memunculkan sebuah falsafah minyak dan air sebagai analogi pahala dan dosa. Bagi yang menganut paham ini, tak masalah melakukan perbuatan dosa karena semua bisa diimbangi dengan pahala dan penebusan dosa melalui haji. Minyak dan air tak mungkin menyatu, itu yang terlintas dalam benak mereka.


Akan berbeda bila haji dinilai sebagai suatu bentuk ibadah yang di setting oleh Allah sebagai sarana mencapai keikhlasan melalui ujian sebagaimana yang dicobakan kepada Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS. Sikap ikhlas dari haji mabrur akan tercermin dalam perilaku dan bukan dari atribut dan baju. Perilaku yang demikian sangat diperlukan oleh negeri tercinta ini agar terlepas dari keterpurukan ekonomi, ketidakadilan hukum, menghapus korupsi dan krisis kepercayaan.


Beberapa pekan ini krisis kepercayaan telah mencapai titik yang paling rendah. Saking rendahnya, sumpah atas nama Tuhan yang dihamburkan oleh para pejabat pun tak lagi dipercaya rayat. Bangsa ini telah terjebak dalam satu ucapan lain perbuatan, sikap yang demikian adalah cermin dari haji kabur. Kita hanya bisa berdoa agar kepulangan jamaah haji tahun ini banyak membawa haji mabrur yang lulus ujian keikhlasan.


Ikhlas tidak saja bermanfaat bagi masyarakat dan alam sekitar, tetapi dapat membawa sang hamba untuk menikmati surga. Seperti lirik dari lagu Ungu ” sesungguhnya manusia tak kan bisa menikmati surga tanpa ikhlas di hatinya.........”


Dimuat di Rubrik opini RADAR BANJARMASIN hari Selasa tanggal 24 Nopember 2009



0 komentar:

Posting Komentar