Wadah Opini

Jangan biarkan otak kita hanya menjadi otak-otak

Sabtu, 25 Juni 2016

TUPOKSI INSPEKTORAT

Diposting oleh imam suharjo

Inspektorat selaku aparat pengawas intern pemerintah (APIP) melaksanakan pengawasan yang merupakan salah satu bagian dari kegiatan pengendalian intern yang berfungsi melakukan penilaian independen atas pelaksanaan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah. Pengawasan Intern adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik. 

baca selengkapnya..
Kamis, 26 November 2009

MENGUJI RUKUN ISLAM KELIMA

Diposting oleh imam suharjo

Haji sebagai penutup rukun islam kelima wajib hukumnya bagi umat islam yang mampu. Mampu dalam arti cukup biaya bagi yang melaksanakan maupun keluarga yang ditinggalkan, cukup umur serta sehat jasmani maupun rohani. Ibadah haji memang lebih komplek dibanding dengan keempat rukun yang lain, dan tak semua orang dapat melaksanakannya. Selain diperlukan kesiapan iman, uang dan fisik, menunaikan haji perlu dukungan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan pihak lain.


Haji dilaksanakan dalam waktu dan tempat yang telah ditentukan. Ritual ibadah haji dimulai pada tanggal 8 Dzulhijjah ketika jamaah calon haji bermalam di Mina yang dilanjutkan dengan wukuf di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah. Wukuf atau berdiam diri dan berdoa di tempat pertemuan Nabi Adam dan Hawa yang dilaksanakan dari pagi hingga maghrib merupakan inti haji Berkumpulnya jutaan manusia ini menggambarkan kondisi penantian pengadilan Illahi di padang masyar kelak.


Ritual dilanjutkan dengan mabit (bermalam) di sebuah tempat antara Mina dan Arafah yang bernama Muzdalifah. Di tempat ini para calon haji mengambil batu-batu kecil yang disiapkan untuk melempar jumrah. Esok hari tanggal 10 Dzulhijjah, setelah fajar menyingsing dilakukan pelemparan jumrah aqobah. Pada saat yang sama, umat islam di seluruh belahan dunia merayakan hari raya Idhul Adha atau hari raya kurban.


Pelemparan jumrah aqobah merupakan titik kritis ritual haji yang memerlukan dukungan ketahanan fisik. Lebih dari dua juta manusia secara bersamaan melakukan pelemparan batu ke satu titik sebagai simbol setan dalam kurun waktu yang terbatas. Meskipun pemerintah Arab Saudi telah meningkatkan tempat melempar jumrah menjadi tiga tingkat, tetapi kondisi padatnya manusia menjadi rawan bagi mereka yang memiliki fisik lemah.


Setelah meyelesaikan jumrah aqobah, calon haji dapat mencukur rambut atau sebagian rambut, dan dilanjutkan dengan bisa Tawaf Haji atau bermalam di Mina dan melakukan pelemparan jumrah ula, wustha dan aqobah pada tanggal 11 dan 12 Duzulhijjah bagi yang ingin melaksanakan nafar awal. Pada saat itu jamaah haji sudah dapat melepaskan pakaian ihramnya dan status haji sudah disandang.


Biaya Haji

Iman, uang dan fisik tak cukup untuk dapat menuaikan ibadah haji, masih membutuhkan dukungan sarana dan prasarana seperti legalisasi, transportasi dan akomodasi. Untuk kepentingan itulah maka peran pemerintah diperlukan dalam penyelenggaran ibadah haji, dan semuanya harus dibayar oleh calon jemaah haji.


Selama masa penyelenggaraan haji oleh pemerintah, biaya haji tak pernah sekalipun mengalami penurunan, selalu naik dan naik. Tentu saja pemerintah mempunyai pembenaran untuk itu, dari alasan kenaikan nilai kurs dolar Amerika sampai pembengkaan biaya pemondokan. Umatpun hanya bisa pasrah menerima alasan tersebut karena tak ada pilihan penyelenggara lain kecuali melalui biro penyelenggara ONH plus yang biayanya hampir dua kali lebih mahal.


Bila dihitung dengan menggunakan kurs dolar, biaya haji di era orde baru berkisar pada angka 3.250 dolar, sementara biaya haji tahun ini dengan nilai kurs rata-rata Rp. 10.000,- per dolar adalah sebesar 3.500 dolar atau 35 juta rupiah. Jelas angka ini tak akan mampu lagi ditutupi oleh para pegawai negeri yang ingin memanfaatkan uang TASPEN untuk biaya haji seperti dulu.


Memang ironis, orde baru yang dicap sebagai biang korupsi ternyata bisa mematok biaya haji lebih kecil dibanding saat ini. Dulu juga tak ada pengendapan setoran haji sebesar 20 juta perorang, karena tak dikenal adanya waiting list. Sekarang, dengan daftar tunggu rerata minimal 5 tahun, maka bisa dihitung berapa total uang setoran yang mengendap di bank beserta bagi hasilnya. Sebuah nilai yang sangat besar.


Meski biaya haji selalu mengalami kenaikan dan calhaj ”dipaksa” men-DP 20 juta, bukan berarti terjadi peningkatan pelayanan. Hampir setiap tahun ditemui permasalahan yang mengganggu ritual peribadahan. Untungnya, upaya-upaya lembaga legislatif yang ingin mengangkat kasus ini melalui hak angket selalu kandas dan menghilang begitu saja.


Umatpun tak ambil pusing, bagi meraka yang penting dapat menunaikan ibadah haji, karena bagi sebagian umat islam di sejumlah daerah di Indonesia, haji bukan saja menjadi kewajiban tetapi juga sebagai simbol prestise yang dapat menaikkan status seseorang di mata masyarakat. Sementara yang lain menganggap, apapun yang terjadi dalam pelaksanaan ibadah haji merupakan ujian yang harus diterima dengan ikhlas.


Ujian haji

Ikhlas merupakan puncak kematangan rohani manusia dalam menghadapi liku-liku kehidupan. Ikhlas tidak datang begitu saja melainkan melalui banyak ujian. Dan ibadah haji adalah salah satu sarana penting untuk menguji seseorang dalam meraih keikhlasan. Ritual haji yang begitu berat dengan iklim yang tak bersahabat, ditambah pelayanan yang dibawah standar walau ongkos telah meningkat, menjadi ujian-ujian kecil bagi jamaah.


Keimanan pun tak luput dari ujian, ketakjuban terhadap bangunan Ka’bah sering membuat jamaah lupa bahwa Ka’bah bukanlah segalanya. Ka’bah seolah menjadi tujuan ibadah haji yang penuh keramat, bahkan apapun yang berasal dari Ka’bah seperti kain penutup maupun air hujan yang meluncur dari talang menjadi rebutan jamaah untuk digunakan sebagai jimat, Naudzubillah. Seharusnya diingat bahwa Ka’bah hanyalah sarana pemersatu kiblat, tujuan ibadah tetap memenuhi panggilan Allah. ”Labaik Allahuma Labaik....”.


Dan ujian terbesar adalah ketika gelar haji sudah disandang dan kopiah putih telah terpasang. Saat itulah perilaku seseorang diuji apakah dia menjadi haji mabrur atau hanya ”haji kabur”. Haji mabrur bukan dilihat dari berapa kali orang naik haji, juga bukan berapa banyak orang mengumpulkan berlipat pahala dengan beribadah di tempat-tempat suci. Haji mabrur ditunjukan dengan sikap dan martabat terhormat, menebarkan rahmat dan teguh memegang amanat serta konsisten antara ucapan dan perbuatan.


Sementara itu, sesuai namanya haji kabur ditunjukan dengan sikap khianat, hanya menebar janji tapi tak pernah ditepati dan bisanya kabur dari tanggungjawab. Indonesia memilki rakyat, konglomerat dan pejabat yang bergelar haji dengan prosentase cukup besar, bahkan sebagian dari mereka telah menunaikan haji lebih dari satu kali, tetapi anehnya kita tak pernah lepas dari korupsi. Lalu dimanakah haji mabrur berada ?


Mungkin ada yang salah dalam memahami haji, ibadah haji masih dianggap sebagai sarana mengumpulkan pahala dan penebus dosa daripada memaknai nilai ibadah. Pemahaman yang demikian memunculkan sebuah falsafah minyak dan air sebagai analogi pahala dan dosa. Bagi yang menganut paham ini, tak masalah melakukan perbuatan dosa karena semua bisa diimbangi dengan pahala dan penebusan dosa melalui haji. Minyak dan air tak mungkin menyatu, itu yang terlintas dalam benak mereka.


Akan berbeda bila haji dinilai sebagai suatu bentuk ibadah yang di setting oleh Allah sebagai sarana mencapai keikhlasan melalui ujian sebagaimana yang dicobakan kepada Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS. Sikap ikhlas dari haji mabrur akan tercermin dalam perilaku dan bukan dari atribut dan baju. Perilaku yang demikian sangat diperlukan oleh negeri tercinta ini agar terlepas dari keterpurukan ekonomi, ketidakadilan hukum, menghapus korupsi dan krisis kepercayaan.


Beberapa pekan ini krisis kepercayaan telah mencapai titik yang paling rendah. Saking rendahnya, sumpah atas nama Tuhan yang dihamburkan oleh para pejabat pun tak lagi dipercaya rayat. Bangsa ini telah terjebak dalam satu ucapan lain perbuatan, sikap yang demikian adalah cermin dari haji kabur. Kita hanya bisa berdoa agar kepulangan jamaah haji tahun ini banyak membawa haji mabrur yang lulus ujian keikhlasan.


Ikhlas tidak saja bermanfaat bagi masyarakat dan alam sekitar, tetapi dapat membawa sang hamba untuk menikmati surga. Seperti lirik dari lagu Ungu ” sesungguhnya manusia tak kan bisa menikmati surga tanpa ikhlas di hatinya.........”


Dimuat di Rubrik opini RADAR BANJARMASIN hari Selasa tanggal 24 Nopember 2009



baca selengkapnya..
Kamis, 12 November 2009

PAHLAWANKU PAHLAWANMU

Diposting oleh imam suharjo

Kematian Brigadir Jenderal Malaby membuat berang sekutu yang dipimpin Inggris. Lalu, seranganpun dilancarkan oleh tentara sekutu dari segala penjuru darat, laut, dan udara untuk menggempur pertahanan arek-arek Suroboyo yang dianggap bertanggungjawab atas tewasnya Malaby. Tepat 10 Nopember 1945, ibu kota propinsi Jawa Timur itu di bombardir habis-habisan oleh sekutu yang didomplengi oleh serdadu kompeni. Satu persatu para pejuang berguguran, namun semangat mereka tak pernah pudar, ”Merdeka atau mati, Allahu Akbar....” pekik Bung Tomo.


Malaby hanyalah sebuah justifikasi, kedatangan tentara sekutu ke Surabya yang seharusnya hanya untuk melucuti senjata Nippon yang kalah di PD II, dimanfaatkan NICA untuk mengeliminasi kemerdekaan bangsa Indonesia yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Kesempatan pun terbuka dengan menjadikan kasus Malaby sebagai alat untuk menghancurkan eksistensi NKRI. Sepertinya kompeni masih ingin mengangkangi kembali Indonesia setelah 350 tahun menjajah.


Sudah enam puluh empat tahun, para pahlawan yang gugur berbaring dalam dekapan tanah pertiwi. Tulang belulang mereka menjadi saksi bahwa kemerdekaan itu bukanlah hadiah, tetapi sebuah perjuangan yang mengorbankan jiwa raga, harta benda dan tangisan darah. Tujuan mereka tak lebih hanya agar anak cucu dan seluruh rakyat Indonesia dapat terlepas dari penderitaan akibat kesewenang-wenangan penjajah selaku penguasa.


Kesewenangan penguasa Belanda selama menjajah memberikan efek yang dalam bagi rakyat Indonesia, bukan hanya penderitaan rakyat jelata yang dirasakan, tetapi menusuk sampai ke sikap mental para bangsawan. Penjajah Belanda telah memberikan contoh riil tentang bagaimana cara menjadi penguasa. Sehingga ketika penjajah tak ada lagi, gaya kompeni masih banyak digunakan oleh oknum penguasa untuk mewujudkan keinginannya. Tak ayal, meski sekian puluh tahun merdeka, masih ada elemen rakyat yang hidup tertindas oleh bangsa sendiri baik secara struktural, kultural maupun finansial.


Pahlawan

Pahlawan berasal dari kata pahala yang berarti orang yang berpahala. Dalam terjemahan bebas dapat juga dikatakan bahwa pahlawan adalah orang yang berjasa bagi bangsa atau golongan ataupun individual. Para pejuang yang gugur dalam mempertahankan kemerdekaan merupakan patriot bangsa yang berjasa bagi bangsa dan negara, sehingga rakyat dan pemerintah Indonesia sepakat bahwa mereka memang layak disebut pahlawan bangsa.


Setelah masa perjuangan selesai, pemerintah masih memberikan status kepahlawanan kepada golongan tertentu. Di jaman orde baru, perlakuan khusus diberikan kepada ABRI sebagai warga pilihan, sehingga apabila ada perwira tingginya yang meninggal maka mereka akan di kuburkan di taman makam pahlawan dan secara tak langsung dianggap sebagai pahlawan.


Kebiasaan di jaman orde baru mulai sedikit berkurang setelah reformasi, tetapi pemerintah masih memiliki dua jargon pahlawan lagi yaitu pahlawan tanpa tanda jasa dan pahlawan devisa. Terhadap kedua pahlawan ini, pemerintah tidak memberikan perlakuan khusus atas gelar pahlawan yang diberikan, karena gelar tersebut hanyalah pemanis kata tanpa makna yang memang suka diungkapkan pejabat kita.


Secara individual, pahlawan tanpa tanda jasa pantas di berikan kepada guru di jaman penulis masih duduk di bangku SD dulu. Ketulusan dan pengabdian guru dalam mengajar benar-benar tak kenal pamrih, meski para muridnya hanyalah anak kampung yang tak punya baju seragam dan sepatu sekolah. Bimbingan belajar diberikan dirumah tanpa sedikitpun memungut biaya, walau sang guru tahu resiko bahwa lantai rumahnya akan dikotori lumpur dari telapak-telapak mungil murid yang tak beralas kaki. Guruku benar-benar pahlawanku.


Sekarang, menyandangkan gelar pahlawan tanpa tanda jasa kepada guru tergantung kondisi, bila kita bertanya pada orangtua/wali murid dapat dipastikan tak semua dari mereka sepakat dengan pemberian gelar tersebut. Sebagian orang tua murid tentu merasakan betapa jauhnya nilai pengabdian guru jaman dulu dan sekarang.


Guru tak lagi menjadi profesi pengabdian. Dengan kenaikan tunjangan yang demikian besar dan masih ditambah pendapatan dari iuran komite ataupun lainnya menjadikan guru sebagai profesi yang menjanjikan. Belum lagi tambahan dari biaya les murid, meski seharusnya wajib bagi guru mengajar selama 24 jam sebagai konsekuensi dari tunjangan yang telah diberikan.


Gelar pahlawan devisa memang layak diberikan kepada tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri yang telah menyumbangkan hampir sembilan puluh trilyun devisa. Gelar tersebut mungkin melambungkan perasaan para TKI, tetapi sebenarnya bukan itu yang mereka perlukan, para TKI hanya ingin nasibnya dilindungi oleh pemerintah selama mereka menjalankan profesinya di negeri orang.


Kekerasan yang sering dilakukan oleh para majikan di luar negeri menjadi momok tersendiri bagi TKI. Beberapa kasus menunjukan bahwa penanganan pemerintah terhadap kekerasan TKI seperti tak memiliki prosedur standar dan hanya tergantung situasi, sebagai contoh penanganan kekerasan TKI dalam situasi menjelang pemilu akan berlainan dengan diluar pemilu. Sikap pemerintah ini tentu sangat kontradiksi dengan gelar pahlawan yang diberikan kepada mereka namun tak dibarengi dengan perhatian.


Siapakah pahlawanmu ?

Di luar pahlawan bangsa, setiap orang memiliki pahlawan. Seorang gadis yang sedang kasmaran akan menjadikan sang kekasih sebagai pahlawan hatinya. Iwan fals dalam lirik lagunya memposisikan ibu sebagai pahlawan yang berjuang demi anaknya walau tapak kaki penuh darah penuh nanah. Ibu yang dimaksud Iwan Fals tentu bukannlah ibu-ibu yang asyik dengan kegiatannya sendiri di organisasi sementara anak-anaknya dibiarkan tumbuh dan berkembang dengan pembantu.


Dunia penegakan hukum kita pun dipenuhi dengan para pahlawan. Istilah markus (makelar kasus) hanyalah sebutan dari orang-orang yang sinis, padahal sebenarnya markus-markus tersebut adalah para pahlawan bagi sebagian aparat penegak hukum. Bagaimana tidak, dengan jasa pahlawan markus para oknum penegak hukum dapat menikmati kehidupan elit di perumahan satelit dengan biaya hidup selangit. Gaya hidup tersebut tak mungkin di dapat hanya mengandalkan gajih sebulan.


Menjadi sebuah tontonan bila kemudian ada oknum yang siap berkorban demi pahlawan markus yang telah berjasa baginya. Namun pengorbanan mereka harus dibayar mahal dengan hancurnya kredibilitas sebuah institusi, korbanpun berjatuhan termasuk gugurnya para penegak hukum yang memiliki dedikasi, kompetensi dan moralitas tinggi. Mereka harus menanggung akibat dari nilai setitik yang merusak susu sebelanga.


Dari sekian jenis pahlawan, ada satu pahlawan yang berjuang hanya demi kepentingan diri sendiri. Dialah pahlawan kesiangan yang banyak berkeliaran dalam dunia politik. Pahlawan-pahlawan ini akan bermunculan saat menjelang pemilihan di tingkat nasional maupun lokal. Berbagai kegiatan dan bantuan di hamburkan pahlawan kesiangan kepada masyarakat dengan satu tujuan agar mereka di gotong menuju tampuk kekuasaan.


Posisi pahlawan memiliki arti penting bagi setiap orang. Semakin besar jasa pahlawan dalam membela kepentingan, semakin tinggi juga posisinya di mata pemilik kepentingan. Sehingga bila kita bertanya pada para koruptor, siapakah pahlawanmu ? InyaAllah mereka akan serentak menjawab : ANGGODO !!!


Apapun status Anggodo, namun sepak terjangnya telah membuat ke tiga institusi penegak hukum dan pemberantasaan korupsi tidak bisa berkonsentrasi penuh untuk menjalankan tugasnya.


Dimuat di Rubrik Opini RADAR BANJARMASIN hari Jumat tanggal 13 Nopember 2009

baca selengkapnya..
Minggu, 08 November 2009

CICAK TEWAS NYAMUKPUN BEBAS

Diposting oleh imam suharjo

Testimoni mantan ketua KPK terus mengelinding tak tentu arah. Dua pimpinan KPK yang menjadi sasaran tembak telah mendekam di balik jeruji penjara Mako Brimob. Tidak menutup kemungkinan mereka akan bergabung dengan para terdakwa kasus korupsi titipan KPK, bisa dibayangkan betapa panasnya ruang sempit yang berisi manusia dari dunia yang berseberangan . Tetapi diluar kondisinya tak kalah panas,. isu yang mengiringi bola liar Antasari terus melejit sampai menohok petinggi negeri.


Pekan ini masyarakat dibuat bingung atas jalannya pertarungan cicak dan buaya. Istilah cicak dan buaya menjadi populer ketika seorang petinggi polri yang berkompeten di bidang penyidikan membuat pernyataan bahwa alat komunikasinya di sadap oleh sebuah institusi yang kemudian disebutnya cicak dan diri/institusinya sebagai buaya . Dugaan siapa cicak berkembang dan mengarah kepada KPK sebagai institusi yang selama ini paling getol melakukan penyadapan atas kasus korupsi.


Cicak hanyalah binatang melata yang hidupnya sangat tergantung pada si tuan rumah. Keberadaan cicak diperlukan untuk membasmi nyamuk-nyamuk nakal yang senang mengisap darah penghuni rumah. Dalam kondisi luar biasa, dimana jumlah nyamuk sudah memenuhi isi ruang rumah, menjadi wajar bila kemudian sang cicak diberikan kekuatan super agar mampu melahap semua nyamuk.


Namun cicak tetaplah cicak, tubuhnya jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan buaya. Sebagai binatang reptil, buaya telah hidup lebih dari puluhan tahun sebelum cicak diciptakan. Buaya tak suka makan nyamuk, tetapi lebih sering makan manusia. Sehingga bila cicak dan buaya ini harus berhadapan diatas ring, dapat dipastikan cicak akan kalah. Tewasnya cicak akan menjadi ajang pesta pora para nyamuk untuk bebas menghisap darah penghuninya. Dan bila terus dibiarkan, suatu saat sang pemilik rumahpun bisa menjadi korban keganasan nyamuk.


Senjata opini

Dari segi kuantitas dan kualitasnya, nyamuk di Indonesia tergolong sangat luar biasa. Sudah berapa kali negara ini mencoba untuk membuat obat pembasmi nyamuk yang ampuh, tetapi selalu gagal dan gagal. Keberadaan cicak di awal reformasi adalah sebuah harapan baru dalam rangka pembasmian nyamuk, harapan itu menjadi semakin kuat ketika para penghuni rumah menyaksikan sepak terjang cicak dalam melahap nyamuk.


Namun untuk bertarung dengan buaya, cicak tentu tak akan berdaya. Fisik buaya yang jauh lebih besar dengan giginya yang tajam jelas bukan tandingan cicak. Sekali injak, si buaya dapat melumatkan cicak. Apalagi bila si buaya dibantu dengan gerombolan komodo yang juga hobi makan manusia. Habislah sudah.


Diatas ring hukum si buaya dan komodo mungkin boleh diatas angin, tetapi mereka lupa bahwa sang cicak tidaklah sendirian. Dibelakang cicak berdiri jutaan penghuni rumah yang siap membantu sang cicak dalam menghadapi pertempuran yang tak seimbang. Mereka adalah para penghuni rumah yang selama ini gerah dengan banyaknya nyamuk yang tega menghisap darah tanpa acuh, tak terkecuali darah anak-anak hingga kurus dan kekurangan gizi.


Peperangan di luar ring sepertinya akan dimenangkan oleh pendukung cicak. Dengan menggunakan amunisi opini yang ditembakan dengan pelontar media, posisi buaya dan komodo tak bisa dibilang tegak. Apalagi isu adanya rekayasa pertandingan untuk meng-KO cicak mulai beredar luas, membuat kemenangan yang semula sudah di tangan buaya pun buyar. Pertandingan menjadi seru dan menjadi sedikit berimbang, tapi dipihak lain sang nyamuk yang mungkin menjadi promotor di belakang layar tentu sangat bergembira atas suksesnya pentas ini.


Kegagalan koordinasi

Fenomena cicak dan buaya adalah sebuah kegagalan koordinasi dalam sistem manajemen. Hal ini diakibatkan pertama karena masih kuatnya ego sektoral dari masing-masing institusi. Kedua karena adanya pejabat yang lebih suka menyelesaikan masalah dengan menggunakan kewenangannya secara berlebihan dan tak pada tempatnya. Dan ketiga, masih banyak pejabat yang tak kuat menyandang jabatannya yang ditunjukkan dengan sikap arogan.


Sebelum KPK dibentuk, tugas sebagai penegak hukum berada di tangan kepolisian dan kejaksaan. Kemunculan KPK dan sepak terjangnya diakui atau tidak secara psikologis mempengaruhi eksistensi dua institusi yang telah lama ada. Apalagi program kerja KPK kedepan akan memprioritaskan pembersihan KKN dalam bidang penegakan hukum dan peradilan yang selama ini sering dikeluhkan banyak pihak. Kesan yang timbul adalah dua institusi penegak hukum tersebut dianggap tidak bersih dan KPK adalah sapu bersih yang siap melibas siapapun.


Efek psikologis tersebut mau tidak mau memunculkan persaingan. Hanya saja persaingan yang terjadi bukan untuk berlomba menangkap koruptor, tetapi rivalitas yang saling mengabaikan. Kita saksikan bagaimana polisi tak acuh terhadap laporan pencekalan KPK terhadap direktur Masaro, sehingga bukanlah kesalahan bila seorang pejabat kepolisian mendatangi si buronan KPK tersebut di luar negeri. Sikap ego sektoral yang luar biasa.


Penggunaan kewenangan yang berlebihan terlihat dari keanehan ketika sebuah institusi penyidik memeriksa kewenangan penyidik lain. Dalam kasus hukum yang umum, bila terjadi penyalahgunaan wewenang dari penegak hukum, maka tersangka yang merasa dirugikan bisa mengajukan praperadilan. Tetapi dalam kasus KPK hal itu sepertinya tak berlaku, Direktur Masaro tak perlu repot mempraperadilkan KPK, karena sudah diselesaikan polisi. Sebuah penggunaan kewenangan yang hebat.


Orang sering tak menyadari bahwa jabatan hanyalah sebuah amanah dari Tuhan bukan dari atasan, sehingga kelak harus dipertanggungjawabkan di depan pengadilan Tuhan. Amanah tidaklah abadi seperti tidak kekalnya umur manusia. Oleh karena itu, adalah sebuah ketololan bila manusia mengagungkan jabatannya dengan bersikap arogan, siapa kamu siapa aku. Gue bos lu jongos, Kamu cicak aku buaya, jangan macam-macam.


Tim Independen Verifikasi

Pertarungan cicak dan buaya telah melebar ke masalah sosial politik. Pers conference yang dilaksanakan baik oleh Presiden maupun Kapolri sepertinya belum mampu menenangkan gejolak masyarakat peduli korupsi selama tidak ada satu bukti dukung yang meyakinkan. Meskipun Presiden telah menyatakan bahwa beliau siap berdiri didepan apabila ada upaya ingin menghabisi KPK, tetapi pernyataan itu sangat normatif sebelum diwujudkan dalam satu tindakan nyata.


Banyak tokoh dan pemerhati menyarankan agar presiden sebagai kepala negara membentuk tim independen untuk menyelidiki hal ihwal penangkapan pimpinan KPK oleh kepolisian. Tim ini diperlukan karena telah terjadi keruntuhan trust building masyarakat terhadap kepolisian, sehingga apapun yang disampaikan oleh polisi atas kinerjanya dalam penyidikan petinggi KPK, tak dapat merubah opini yang sudah terlanjur negatif.


Pembentukan tim independen ini sangat penting agar citra polisi yang selama kepemimpinan Jenderal Bambang H sedang dibangun tidak mengalami degradasi. Chaos hukum inipun bila tidak kunjung selesai juga akan berdampak pada kinerja kabinet 100 hari kedepan serta turunnya pamor presiden SBY yang namanya ikut tercatut dalam rekaman telepon rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK. Kearifan Presiden SBY akhirnya meluluskan saran tersebut dengan membentuk Tim Independen Verifikasi (TIV). Semoga nasib tim ini tak seperti TPF-TPF yang pernah dibentuk sebelumnya.


Masyarakat pada dasarnya tidaklah membela orang bersalah siapapun dia, tetapi kronologis kasus hukum Bibit – Candhra membuat orang banyak bertanya-tanya. Apa yang sedang terjadi di negeri ini ? KPK yang selama ini menjadi ujung tombak penanganan korupsi, harus terjungkal oleh institusi yang seharusnya ikut bersinergi dengan KPK dalam memberantas korupsi.


KPK memang bukanlah lembaga permanen, suatu saat lembaga ini bisa dibubarkan bila korupsi tidak lagi menjadi extraordinary crime di Indonesia. Tetapi untuk saat ini, cicak tak boleh tewas kalau tak ingin nyamuknya bebas.


Dimuat di rubrik opini RADAR BANJARMASIN hari Kamis tanggal 5 Nopember 2009



baca selengkapnya..
Minggu, 11 Oktober 2009

MENGURAI BENANG KUSUT

Diposting oleh imam suharjo

Anomali adalah istilah yang digunakan pada fenomena keganjilan air yang tidak mengalami pemuaian ketika suhunya dinaikan pada batas tertentu. Perilaku air ini tentu menyimpang hukum fisika umumnya. Penyimpangan perilaku ternyata tidak hanya milik fisika, dalam bidang manajemen juga terjadi hal seperti itu. George R Terry, seorang pakar ilmu manajemen tentu akan berkerut keningnya apabila menyaksikan fenomena manajemen yang terjadi di Indonesia.


Teorinya yang tertuang dalam buku Principles of Management tentang Planning (perencanaan), Organizing (organisasi), Actuating (pelaksanaan) dan Controlling (Pengawasan) tidak berjalan semestinya di negara ini, walaupun secara organisatoris Indonesia telah memiliki institusi-institusi perencanaan, pelaksana teknis maupun pengawasan seperti yang dikehendaki dalam prinsip manajemen.


Bahkan untuk fungsi controlling, Indonesia memiliki banyak sekali institusi pengawas baik intenal maupun eksternal pemerintah, institusi yudikatif, institusi khusus, Lembaga legislatif (DPR/D) serta pengawasan dari lembaga non pemerintah. Namun fakta yang terjadi adalah tujuan negara belum dapat tercapai secara efektif dan efisien.


Didalam Institusi pengawas intenal pemerintah terdapat Inspektorat Jenderal di Departemen, Inspektorat Propinsi, Inspektorat Kabupaten/kota dan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dijaman orde baru masih ada lagi institusi pengawas dibawah Sekretariat Negara seperti Inspektorat Jenderal Pembangunan (Irjenbang). Laporan hasil pemeriksaan dari instusi pengawas interen tersebut disampaikan langsung kepada pimpinan instansi terperiksa untuk ditindaklanjuti.


Sementara pengawasan eksternal pemerintah dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), laporan hasil pemeriksaan BPK disampaikan kepada Lembaga Legislatif. Sedangkan institusi yudikatif seperti kepolisian dan kejaksaan dapat melakukan pengawasan dan pemeriksaan setelah mendapat pengaduan atau menemukan indikasi kuat penyimpangan.


Belum cukup dengan kinerja institusi yang ada, negara pun membentuk insitusi khusus yang berkaitan dengan korupsi. Dimulai tahun 1957 melalui Panglima Penguasa Militer sampai Komisi Pemeriksa Keuangan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang kemudian diganti dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sekarang sedang hangat dibicarakan di media masa berkaitan dengan dugaan keterlibatan para pimpinannya dengan masalah hukum.


Banyaknya institusi pengawas di Indonesia selama ini tidak menjadikan manajemen berjalan efisien, tetapi cenderung semakin meningkatkan kebocoran uang negara. Anomali ini pernah disampaikan oleh bagawan ekonomi Indonesia yang sekaligus menteri di jaman orde baru beberapa tahun silam yang menyatakan bahwa telah terjadi kebocoran uang dalam pengelolaan anggaran belanja negara.


Modus Operandi

Fungsi pengawasan sering disalahgunakan oleh oknum pengawas/auditor hitam yang masih ada di institusi pengawas internal maupun eksternal. Mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan pengawasan terhadap obyek pemeriksaan (obrik) sudah dicampuri tangan-tangan pengawas/auditor hitam. Tujuannya tidak lain adalah keinginan oknum mengais rejeki dari obrik atau kepentingan lain.


Hal ini dapat dilihat dengan dipilihnya obrik-obrik yang mengelola anggaran besar dengan tujuan bukan untuk menemukan penyelewengan tetapi hanya untuk mendapatkan layanan prima dan uang saku yang besar. Bagi obrik, pengawas/auditor memang bagaikan raja yang harus dilayani dan diberi upeti, dan oknum pengawas/auditor hitam mencoba memanfaatkan kondisi ini.


Modus operandi yang dilakukan oleh pengawas/auditor hitam untuk memperoleh keinginannya menghasilkan temuan yang terkesan bias dan cenderung memojokan obrik. Meskipun obrik diberi kesempatan untuk menanggapi dan memberikan penjelasan terhadap temuan tersebut, namun kondisi psikologis obrik yang terpojok dan penuh kecemasan atas temuan pemeriksaan akan mudah ”dikerjai” oleh oknum pengawas/auditor hitam untuk melakukan tawar menawar. Lain lagi bila ada kesepakatan lebih dahulu, temuannya bisa diatur.


Sudah menjadi rahasia umum dikalangan obrik bahwa tebal tipisnya temuan tergantung dengan tebal tipisnya amplop. Tipis amplop yang diberikan maka berdampak pada tebal (banyak) nya hasil temuan demikian sebaliknya. Untuk mempertebal amplop, maka tidak ada cara lain kecuali obrik melakukan akrobat pada pelaksanaan anggaran atau memotong dana pihak kedua agar dapat mengumpulkan dana taktis.


Benang kusut

Entah siapa yang memulai, yang jelas lilitan gurita korupsi di kalangan birokrat bagai benang kusut yang sulit terurai. Selama ini lembaga lembaga pengawas non struktural dibentuk hanya untuk menghilangkan akibat dibanding penyebab, oleh karenanya tak mengherankan apabila lembaga-lembaga tersebut akhirnya mati atau larut dalam gelombang korupsi yang berkepanjangan.


Perilaku penyelewengan mungkin diawali dari sekedar memenuhi kebutuhan disaat aparat pelaksana tak mampu mengelola gaji yang minim untuk mencukupi kebutuhan selama sebulan karena kebanyakan anak atau memiliki istri dengan jumlah lebih dari yang sepatutnya. Ketika ada kesempatan menambah penghasilan melalui kewenangan yang dimiliki, maka kesempatan tersebut tak akan disia-siakan.


Disisi lain, aparat pemeriksa/pengawas pun mempunyai problem yang sama. Maka kedua kepentingan ini pun berkolaborasi untuk melakukan usaha menambah penghasilan. Perkembangan selanjutnya tidak lagi sekedar mencukupi kebutuhan, tetapi berubah menjadi untuk memenuhi keinginan gaya hidup metropolis yang serba konsumtif dan penuh gaya. Tak ada lagi rasa malu dalam diri aparat untuk tampil mewah, padahal semua orang tahu, gaji pegawai tak akan bisa memenuhi semua itu.


Efek dai hasil kolaborasi ini tidak saja menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di dunia, tetapi juga negara kaya yang tak mampu meng-kaya-kan mayoritas rakyatnya. Reformasi yang digulirkan tidak dapat mengikis perilaku ini, bahkan budaya korupsi semakin tak terkendali akibat kajian ”aji mumpung” dari orang-orang yang bermental kacung jadi raja. Keadaan mirip benang kusut terendam air, sudah ruwet masih ditambah basah lagi.


Memberdayakan Pengawasan

Sesulit apapun, benang kusut yang sudah terlanjur basah harus tetap bisa diurai, bila tidak maka sampai kapanpun Indonesia tak akan pernah terbangun dari mimpi buruknya. Keberadaan KPK adalah bagian dari cara mengurai benang kusut, namun dengan kondisinya yang sekarang maka tugas dan fungsi KPK harus di dukung oleh penegak hukum yang lain.


Tidak itu saja, sebagian tugas KPK juga bisa dijalankan oleh fungsi pengawas internal pemerintah. Tugas tersebut terutama dalam hal pencegahan dari tipikor. Melalui pengawas internal dapat dilakukan deteksi dini terhadap upaya penyelewengan uang negara, namun dengan syarat aparat pengawas internal pemerintah harus memiliki skill yang cukup dan memiliki dedikasi dan perilaku yang mendukung fungsinya agar tak mudah tergoda kekuasaan dan penyuapan.


Bila bercermin pada kinerja KPK, maka di lembaga tersebut selain diisi oleh orang-orang yang memiliki keahlian yang memadai, juga ditunjang dengan penghasilan dan biaya operasional yang cukup. Untuk itu, memberdayakan aparat fungsional dalam ikut serta mengurai benang kusut, maka setidaknya juga dilakukan hal yang sama. Namun sebelum semua itu dapat direalisasikan, maka tidak ada salahnya bila dilakukan kocok ulang pada semua aparat pengawas internal melalui uji kelayakan dan kepatutan.


Sudah waktunya instansi pengawas internal pemerintah tidak lagi menjadi tempat pembuangan aparat yang berpenyakitan. Karena bila dibiarkan demikian, penyakit yang mereka bawa akan menular ke aparat pelaksana lainnya. Dampaknya adalah manajemen menjadi tidak efesien dan memberati keuangan negara. Kolaborasi antara keduanya juga akan menurunkan kinerja pelayanan, karena masing-masing lebih sibuk memikirkan penghasilan tambahan.


Memberdayakan aparat pengawas internal adalah salah satu cara untuk mengurai benang kusut. Tak ada lagi alasan bagi intansi pelaksana sibuk mengumpulkan dana taktis untuk keperluan ”melayani” pemeriksaan, karena aparat pengawas telah ”imun suap”. Memperbaiki anomali manajemen di Indonesia sepertinya harus dimulai dari aparat pengawas/pemeriksa.

Dimuat di rubrik opini RADAR BANJARMASIN hari Sabtu tanggal 17 Oktober 2009

baca selengkapnya..
Sabtu, 26 September 2009

KEHORMATAN

Diposting oleh imam suharjo

Sebelas milyar rupiah diperkirakan akan dihabiskan untuk pelantikan dan pengambilan sumpah anggota DPR-RI periode 2009-2014. Angka ini tentu sangat fantastis bila dibandingkan dengan perjuangan beribu orang untuk mendapatkan beberapa lembar uang zakat atau bingkisan lebaran yang dibagi setiap hari raya Idhul Fitri. KPU sebagai penyelenggara perhelatan merasa biaya milyaran rupiah itu adalah sebuah angka yang wajar diberikan untuk acara manusia-manusia pilihan orang. Argumentasi ini dianggap banyak kalangan sebagai arogansi penyelenggara negara yang tak memiliki sense of crisis, mereka tak mampu melihat bahwa rakyat dibeberapa daerah menanti uluran tangan akibat di landa bencana.



Project orientate memang masih menjadi mindset para penyelenggara negara dalam melakukan aktivitas pelayanannya. Ketika sebuah anggaran kegiatan telah ditetapkan, berarti anggaran tersebut harus dilaksanakan dan dihabiskan. Jarang sekali penyelenggara negara dengan kesadaran sendiri melakukan review terhadap pelaksanaan anggaran ketika diketahui dikemudian hari bahwa anggaran yang diajukan tak memenuhi kriteria efesien dan efektiv. Yang umum dilakukan adalah menambah atau mengada-adakan kegiatan baru untuk menghabiskan dana dan bukan mengembalikan ke kas negara/daerah. Keberadaan proyek masih menjadi ladang untuk memenuhi want bagi banyak aparat dan pejabatnya.


Apa yang terjadi di KPU tak lepas dari cara pikir berorientasi proyek. Biarpun alokasi anggaran pelantikan DPR-RI banyak menuai protes masyarakat , KPU tetap bergeming seperti yang pernah dilakukan terhadap pelaksanaan anggaran sebelumnya semisal pengadaan IT yang boros. Acara pelantikan anggota DPR adalah sebuah kesempatan bagi KPU untuk membuat kegiatan proyek dengan dana sesuka hati melalui kemasan kelayakan demi menjaga martabat dan kehormatan bagi manusia pilihan yaitu anggota dewan yang terhormat.


Manusia dapat melakukan apa saja demi sebuah kehormatan atau menyandang gelar terhormat. Gelar ini memang akan menaikan derajat manusia beberapa kali lipat di mata manusia. Dengan kehormatan, mereka tak perlu lagi bersusah payah berdesakan di angkutan umum ketika akan mudik lebaran atau mengorbankan nyawa dan harga dirinya hanya untuk ribuan rupiah uang zakat.


Meraih kehormatan

Kehormatan dimata manusia adalah sebuah pengakuan atas diri seseorang atas kekuasaan dan/atau kekayaan dan/atau ilmunya yang dianggap lebih bagi sebagian manusia yang lain. Setiap orang memiliki ukuran sendiri dalam menentukan kriteria kehormatan yang diinginkannya. Oleh karena itu, masing-masing orang memiliki cara berbeda dalam meraih kehormatan baik dengan usaha wajar maupun tidak.


Pemilu yang telah lewat merupakan media untuk mendapatkan sebuah kehormatan, berbagai usaha telah dilakukan oleh para caleg untuk mendapat dukungan rakyat tak terkecuali dengan praktik money politic. Hasilnya, kita mendapatkan manusia pilihan yang dari awal memang hanya ingin meraih kehormatan melalui kekuasan poitik dan bukan untuk mewakili rakyat yang memilihnya.


Ketidakpedulian manusia pilihan akan nasib rakyat yang sedang mendapat musibah adalah bentuk kewajaran atas siap mereka. Para manusia pilihan merasa telah membayar ratusan juta hingga milyaran rupiah untuk membeli suara agar terpilih menjadi anggota dewan yang terhormat. Pelantikan manusia pilihan nanti adalah bagian dari sebuah penghormatan untuk manusia-manusia terhormat , kesempatan yang tak mungkin dilewatkan apalagi dibatalkan hanya karena anggarannya harus dikurangi untuk keperluan rakyat yang tertimpa bencana.


Kekuasaan dan kekayaan adalah dua sisi mata uang yang saling berkaitan dalam meraih kehormatan, dengan kekayaan orang dapat memperoleh kekuasaan atau sebaliknya dengan kekuasaan orang dapat mengumpulkan kekayaan. Kekayaan yang diperoleh dari kekuasaan akan semakin meningkat seiring dengan naiknya posisi jabatan seseorang. Namun seringkali kerakusan manusia memperlakukan kekuasaan dan kewenangan yang ada ditangannya untuk mengeruk kekayaan secara tak wajar.


Ilmu seharusnya mampu membawa seseorang untuk meraih dan menjaga kehormatan dengan elegan. Namun ilmu yang telah kehilangan nurani malah menjadikan manusia tak pernah kehilangan akal untuk meraih kehormatan secara tak wajar. Banyak manusia merasa belum terhormat hanya dengan ilmu yang dimiliki, untuk itu mereka rela menjual ilmu dan idealisme untuk memperoleh kekuasaan dan kekayaan.


Menjaga Kehormatan

Adalah manusiawi bila setiap manusia berusaha mati-matian mempertahankan dan menjaga kehormatannya, apalagi kehormatan tersebut didapat melalui perjuangan. Beberapa saudara kita dari suku tertentu bahkan rela mengorbankan nyawa demi kehormatan diri dan keluarganya. Tetapi bagi para penguasa yang kaya dan berilmu tentu tak perlu susah-susah berkorban nyawa untuk mempertahankan kehormatannya, kecuali terpaksa dan itupun dilakukan dengan memanfaatkan orang lain.


Kasus pertarungan cicak dan buaya yang sedang berlangsung saat ini bisa dilihat sebagai perang dalam mempertahankan kehormatan institusi sekaligus pribadi. Karena yang bertarung adalah institusi, maka penggunaan kekuasaan dan kewenangan menjadi senjata andalan. Ketaktransparanan proses pertarungan semakin memperkeruh suasana hati masyarakat, berbagai opini tak terkendali bermunculan yang mengerucut pada upaya pembunuhan cicak.


Cicak dianggap sebagai makhluk tak tahu diri dan terlalu berani mengganggu kehormatan pemilik rumah. Keberadaan cicak pun dianggap terlalu super sehingga tak ada yang mampu mengontrolnya. Sepak terjangnya yang mengobok-obok kehormatan buaya, dinosaurus dan big animal lainnya semakin memperbanyak musuh cicak. Dan sekarang adalah saat yang tepat untuk mengganti cicak dengan yang jinak dan bersuara lembut sehingga tak menganggu pemilik rumah.


Mempertahankan kehormatan melalui cara tak terhormat sepertinya sudah menjadi tren di negeri ini. Tidak saja di pusat tetapi juga di banyak daerah, perubahan iklim politik yang begitu cepat tak diikuti dengan kesiapan mental dan perbaikan moral. Yang terjadi mirip lagu Iwan Fals berjudul Sumbang yang liriknya berbunyi : ”...maling teriak maling, sembunyi baik dinding, pengecut lari terkencing-kencing, tikam dari belakang, lawan lengah ditendang, kasak kusuk mencari kambing hitam......”.


Kehormatan di mata Allah

Allah tak pernah melihat kehormatan manusia dari kekuasaan, kekayaan dan ilmunya, tetapi dikarenakan ketakwaannya seperti dalam firman Allah Surah Maryam ayat 85 yang berarti : ”(Ingatlah) hari (ketika) Kami mengumpulkan orang-orang yang takwa kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sebagai perutusan yang terhormat” .


Puasa yang telah dilaksanakan selama bulan Ramadhan mengajarkan kita untuk menjadi manusia bertakwa, pelajaran ini tak akan ada artinya bila pemahaman kita terhadap puasa sekedar untuk memperoleh pahala sebanyak-banyaknya. Ketika ramadhan berlalu, tak sedikitpun bekas nilai-nilai puasa di hati kecuali susana riang gembira atas selesainya kewajiban yang menyiksa selama sebulan penuh.


Bila nilai puasa dan sikap takwa dipertahankan dalam sebelas bulan berikutnya, maka Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim tak memerlukan KPK lagi karena tak ada korupsi, tak perlu lagi instansi pengawasan karena memang tak ada yang perlu diawasi. Para pemegang kekuasaan, pejabat, aparat maupun profesi lainnya melaksanakan tugas sebagai bagian ibadah lillahita’ala, meraih dan menjunjungi tinggi kehormatan yang hakiki di mata manusia dan Illahi Robbi.


Dimuat di rubrik opini RADAR BANJARMASIN hari Kamis tanggal 24 September 2009

baca selengkapnya..
Rabu, 19 Agustus 2009

MENCERABUT AKAR TERORIS

Diposting oleh imam suharjo

Setelah melalui tujuh tahun pengejaran dan lebih tujuh belas jam penyergapan, akhirnya orang yang diduga Noor Din M Top berhasil ditewaskan oleh Densus 88. Khalayak ikut merasakan ketegangan menyaksikan detik-detik terakhir perjalanan hidup gembong teroris yang paling dicari. Meski sedikit kecewa dengan tak tertangkapnya Noor Din hidup-hidup, tetapi tewasnya Noor Din diharapkan dapat mengurangi aksi teror di Indonesia (kemudian diketahui yang terbunuh adalah Ibrohim).


Siapa yang tak kenal Noor Din. Berbeda dengan kasus-kasus bom sebelumnya, dalam kasus bom Ritz Carlton dan J.W Marriott Mega Kuningan Jakarta, namanya langsung meroket karena dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam pengeboman ke dua tempat tersebut. Fotonya menampang di berbagai media dan disebarkan di pusat keramaian kota. Situasi persaingan bisnis per-televisi-an, semakin melambungkan popularitasnya, berbagai program dibuat secara spesial untuk mengulas sepak terjangnya. Tapi ironisnya, tak ada satupun yang pernah bertemu langsung dengan Noor Din termasuk aparat kepolisian beserta Densus 88.


Meski lahir sebagai warga negara Malaysia, namun sepak terjang Noor Din lebih banyak di Indonesia. Semenjak kegiatannya diberangus oleh keamanan Malaysia pada tahun 2002, Noor Din melanglang buana dari kerusuhan satu ke kerusuhan lain dalam wilayah Indonesia. Dalam pelariannnya, ia tidak saja mampu merekrut pengikut-pengikut baru tetapi juga melakukan pernikahan dengan beberapa wanita tanpa tersentuh oleh pihak keamanan. Sehingga muncul dugaan adanya kekuatan besar yang melindungi Noor Din M Top.


Noor Din memilih Indonesia bukan tanpa alasan, dengan wajah melayunya dia leluasa bergerak dan berbaur dengan masyarakat kita. Indonesia yang memiliki wilayah demikian luas dan terbagi dalam ribuan pulau menjadi tempat persembunyian yang ideal. Bila di Malaysia propaganda teror Noor Din tak laku karena kondisi kehidupan masyarakatnya yang relatif mapan, maka Indonesia dengan masyarakatnya yang masih banyak terlilit problem sosial akan menjadi lahan subur bagi pemasaran jualan Noor Din.


Beberapa pengamat menyatakan bahwa tewasnya Noor Din M Top tak serta merta mengakhiri aksi teror di Indonesia. Pendapat tersebut ada benarnya, karena yang kita hadapi bukanlah satu orang manusia secara fisik, tetapi sebuah ideologi yang berkembang antar manusia dalam sebuah media ketimpangan sosial. Sehingga selama problem tersebut masih ada, maka akan selalu muncul bibit-bibit teroris baru.


Akar teroris

Adanya keterlibatan warga negara Indonesia dalam aksi teror benar-benar diluar nalar masyarakat normal. Begitu mudahnya mereka diperalat oleh Noor Din untuk membuat kerusuhan dan pembunuhan di negaranya sendiri, sementara Noor Din sendiri belum pernah melakukan aksi teror di Malaysia padahal di disana juga banyak bertebaran kepentingan asing yang katanya menjadi musuhnya. Lalu mengapa sebagian dari kita mudah terbawa paham radikal ?


Sebenarnya abnormalisasi pemahaman agama bukanlah akar teroris, paham tersebut adalah efek yang mudah ditanamkan pada orang-orang yang banyak memiliki problem sosial. Ada kemungkinan para pengikut Noor Din menerima ideologinya lantaran untuk pelarian akibat kemiskinan, ketidakadilan ditambah dengan arus informasi yang tak seimbang. Iming-iming surga melalui ayat-ayat Al Quran yang di potong-potong secara tekstual menjadi menarik bagi mereka yang terhimpit kehidupan, mati sebagai syuhada menjadi impian. Inilah yang sebenarnya menjadi akar tumbuhnya teroris.


Kemiskinan di Indonesia dapat digolongkan dalam kemiskinan struktural, kemiskinan kultural dan kemiskinan natural. Kemiskinan struktural diakibatkan oleh adanya pendapatan yang timpang dalam masyarakat. Kondisi tersebut terbentuk karena adanya kebijakan ekonomi pemerintah, penguasaan sumber-sumber produksi oleh segelintir orang, kolusi antara pengusaha dengan pejabat, dan penyakit KKN lainnya. Atau dengan kata lain kemiskinan struktural terjadi karena ketidakadilan yang dibuat manusia.


Adapun kemiskinan kultural muncul karena faktor dalam diri manusia sebagai individu yang kemudian membentuk budaya atau mental masyarakat untuk hidup miskin, seperti perilaku malas bekerja, rendahnya kreativitas dan tidak ada keinginan hidup lebih maju. Sedangkan kemiskinan natural merupakan kemiskinan yang terjadi secara alami dikarenakan rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya sumber daya alam.


Kemiskinan menjadi penghambat orang untuk memperoleh arus informasi yang seimbang. Dalam kondisi ini, doktrin-doktrin tertentu dapat diajarkan sebagai informasi sepihak yang mengunci pikiran dan menutup seseorang untuk lebih membuka wawasannya lebih luas. Mereka terkunci pada pemahaman bahwa di luar kelompoknya adalah musuh. Paham ini mirip dengan sekte Khawarij di masa silam.


Mencerabut akar teroris

Bila di kelompokan dalam struktur yang sederhana, pendukung teror itu hanya dua. Pertama pemilik paham atau ideologi dan kedua pengikut. Terhadap keduanya harus dilakukan treatment yang berbeda. Pemilik paham hanya bisa diberantas dengan tindakan punishment demikian juga pada pengikutnya yang telah melakukan aksi teror, dan bagi mereka yang masih terinfeksi atau baru ikut-ikutan maka diperlukan usaha persuasi melalui peningkatan taraf kehidupan dan pencerahan.


Tindakan punishment menjadi tanggungjawab pihak keamanan, sedangkan peningkatan taraf kehidupan menjadi tanggungjawab pemerintah. sementara upaya pencerahan melalui pemberian informasi dan pemahaman kontekstual kitab suci adalah tugas lembaga-lembaga agama serta partisipasi masyarakat dengan memanfaatkan berbagai media. Ketiga kegiatan ini bila dilakukan secara simultan akan memiliki kekuatan untuk mencerabut akar teroris.


Pemerintah harus membuat kebijakan yang mampu mendorong meningkatnya pendapatan masyarakat, sehingga jurang antara sikaya dan simiskin menjadi kecil. BLT yang pernah digelontorkan bukanlah solusi yang bisa diterapkan terus-menerus, karena akan mendorong tumbuhnya kemiskinan kultural. Langkah ekstra perlu diambil pemerintah untuk mewujudkan keadilan pendapatan melalui pengembangan usaha kecil dan menengah yang komprehensif, pelatihan kerja yang benar-benar meningkatkan peluang tenaga kerja untuk mengisi lowongan kerja yang tersedia.


Lemahnya kinerja birokrasi juga menjadi penghambat pertumbuhan bagi semua institusi. Meningkatnya kuantitas maupun kualitas tindak pidana korupsi dapat menggerogoti sendi-sendi perekonomian nasional, mengancam pendidikan, pelayanan publik, mempengaruhi mental penyelenggara negara serta membahayakan stabilitas politik nasional. Harus ada semangat dan keinginan kuat untu menghapus penyakit KKN yang selama ini menggerogoti kinerja pemerintah. KPK, kepolisian dan kejaksaan sebagai penegak hukum harus bersinergi dalam pemberantasan korupsi dan menghilangkan egonya masing-masing.


Pemahaman kitab suci secara integral dan kontekstual harus secara kontinyu disampaikan oleh lembaga-lembaga agama. Rasulullah sendiri dalam hadis yang diriwayatkan oleh HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu menyatakan “Iman itu terdiri dari tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih. Yang paling utama adalah ucapan la ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Demikian pula rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” Bila menyingkirkan duri dari jalan merupakan bagian dari iman, akan menjadi sebaliknya bila melakukan kerusakan dan pembunuhan yang tak pada tempatnya. Kita tak ingin Indonesia disebut sebagai negara sarang teroris dan sarang koruptor.


Dimuat di rubrik opini RADAR BANJARMASIN pada hari Jumat tanggal 14 Agustus 2009



baca selengkapnya..